Kamis, 12 Januari 2017

Secuil Kehidupan Mahasiswa (Akhir)

Ini cuma opini saya sebagai mahasiswa biasa yang mungkin hanya tau secuil demi secuil dunia perpolitikan kampus dan pemerintahan. Mahasiswa tingkat akhir yang sebenarnya sedang mengerjakan se-krip-si tapi tangannya sudah kepalang gatal ingin menulis. Ini murni opini, jadi kalau ditanya data, ini murni data dari pikiran saya sendiri. Hanya sekadar ingin menuliskan apa yang menjadi keresahan diri melihat dinamika politik kampus akhir-akhir ini. Apalagi menilik opini-opini yang berhamburan di timeline social media membahas aksi 121 ini.

Di satu sisi..
Ini gimana sih, BEM universitas A, B kok malah menyatakan ngga turun aksi? Katanya mahasiswa, penyambung lidah rakyat. Mana geraknya? Mana sikap kritis ke pemerintahnya?

Di sisi lain..
Halah, sok-sokan aksi, udah dikaji bener-bener kah butuh aksi? Yakin ini aksi bela rakyat? Udah ngadain belum tuh diskusi sama rakyat kampusnya? Yakin yang diperjuangin rakyat? Rakyat mana yang diperjuangkan? Aksinya ditunggangi kepentingan, nih.

Berbagai pandangan bermunculan di timeline social media, mempertanyakan tentang aksi hari ini. BEM univ aksi ada yang menyalahkan, ngga aksi pun disalahkan.

Mana yang salah? Bagi saya sendiri, ngga ada tuh yang salah.
Saya yakin semua punya dasar pemikiran untuk ikut atau tidak mengikuti aksi. Yang salah adalah ketika mahasiswa benar-benar apatis dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Sadar ataupun tidak, ada uang rakyat yang terselip di antara uang-uang pendidikan kita.

Menilik dari BEM-BEM yang tidak ikut aksi, memang mereka menyatakan tidak mengikuti aksi, tapi apa itu berarti mereka tidak peduli? Tidak juga. Apa buktinya? Kalau mereka tidak peduli, tidak akan ada yang membuat kajian, release, ataupun pernyataan sikap untuk aksi hari ini. Tapi nyatanya? Mereka berpusing-pusing ria mengumpulkan data dan mengkaji apa yang bisa mereka usulkan untuk menyelesaikan masalah ini sekaligus menjadi penyambung lidah rakyat. Nyatanya kita bisa dengan mudah mengakses release-release dari BEM yang ada. Tinggal pilih. Masing-masing memiliki ke khas-an dalam membahas isu yang tengah beredar. Ini adalah bukti bahwa mereka masih peduli dengan segala permasalahan yang terjadi saat ini.

Ketika menilik ada yang memutuskan untuk ikut aksi maupun tidak secara 'kelembagaan BEM', saya menilai itu sudah menjadi keputusan yang pasti telah dibahas di internal universitas masing-masing. Pasti ada pertimbangan-pertimbangan tertentu kenapa Presbem selaku pimpinan tertinggi BEM mengambil keputusan untuk ikut atau tidak mengikuti aksi tersebut. Yaa kita orang luar mana tau keadaan 'dapur' masing-masing lembaga. Sebagai representasi suatu univ di kancah nasional pastilah beliau-beliau ini akan memperhitungkan postif negatifnya. Yakin lah saya, insya Allah pucuk pemerintahan bukan orang sembarangan. Bahkan ketika kita melihat beberapa kasus yang ada, ada orang-orang yang mungkin karena atas nama kelembagaan mereka tidak bisa turun, maka mereka atas nama nurani mereka tetap turun untuk aksi dan menyampaikan aspirasi tanpa embel-embel statusnya di kelembagaan. Mereka yang tetap ingin berjuang walau mungkin berbeda sarana. Ya walaupun tentu saja tidak semua orang bisa melihat kesungguhan mereka untuk memperjuangkan aspirasi yang telah dikaji. Karena tidak semua orang mau berpikiran terbuka. Padahal sih, pikiran itu seperti parasut, yang hanya akan berfungsi dengan baik saat kita terbuka. Katanya sih gitu. Tapi kok ya saya cenderung melihat fenomena sekarang ini orang terlalu sering menyalah-nyalahkan tanpa terlebih dahulu berpikiran terbuka? Entahlah. PR kita bersama mungkin. Untuk berpikiran lebih terbuka dan tidak saling menyalahkan tapi saling menasihati, agar tercipta sinergisitas antar kalangan.

Sisi lain lagi..
Ngapain sih aksi? Buat apa coba? Langsung turun saja ke masyarakat lah, selesaikan langsung permasalahan dengan intelektualitas sebagai mahasiswa yang 'konon' banyak ilmunya. Aksi tu ngefek apa? Dapet apa kamu dari aksi itu? Peduli apa pemerintah dengan mahasiswa yang aksi? Iya kah aspirasinya akan ditindaklanjuti? Lebih baik langsung terapkan teknologi atau solusi tertentu yang bisa langsung diterapkan rakyat

Ketika mendengar pertanyaan seperti itu rasanya kok yo mak nyess. Saya mahasiswa juga soalnya hehe. Pernah lah ya aksi satu dua kali walaupun ngga seberapa kalau dibandingkan teman-teman lain yang sampai almamaternya berganti warna saking almamaternya seringkali terpanggang matahari dan bolak balik dicuci.

Pertanyaan dan pernyataan tadi gimana? Setuju. Bener banget, kita sangat sangat butuh orang yang menyelesaikan masalah dengan intelektualitasnya. Seseorang yang menerapkan apa yang sudah dipelajari di bangku perkuliahan langsung di lapangan. Seseorang yang kerja keras dan kerja tuntas dengan kerja-kerja sosialnya. Orang-orang kaya gini nih yang bakal membawa kemajuan dan menyelesaikan masalah se-nyata-nyatanya di tingkat masyarakat.

Tapi saya merasa ada yang miss untuk diperhatikan ketika melihat pertanyaan yang terlontar tersebut, pembagian peran.
Yup, pembagian peran. Mengurusi masalah seperti ini (dari pandangan saya) tidak akan bisa terselesaikan tanpa adanya pembagian peran.

Buat apa sih mahasiswa aksi? Apa dampak nyatanya coba?
Kalau bagi saya yang mahasiswa biasa-biasa saja yang siang malam di depan laptop mengerjakan bab demi bab skripsi yang tak kunjung kelar ini, justru adanya koar-koar akan ada aksi ini memancing keingintahuan saya. Saya yang tadinya tidak mengetahui apa-apa justru merasa sangat berterima kasih pada rekan-rekan yang membooming akan adanya aksi. Mau tidak mau saya 'kepo' dengan apa sih yang terjadi sampai-sampai rekan-rekan mahasiswa ini mencanangkan aksi. Baca release sana sini, mencoba berdiskusi dan turut memikirkan sejenak, apa sih yang sedang dihadapi bangsa ini.

Nah bisa jadi, ada mahasiswa-mahasiswa yang bernasib sama dengan saya juga. Yang kalau saja tidak ada koar-koar nih, tidak akan sadar bahwa kita sedang ada 'masalah'. Kenapa saya beri kutip? Karena belum tentu semua orang menganggap apa yang terjadi saat ini masalah. Saya sungguh berterima kasih pada BEM-SI yang mencanangkan agenda aksi ini. Wawasan saya jadi terupgrade dan keingintahuan jadi muncul lah ya. Justru karena adanya koar-koar macem ini, orang-orang jadi sadar isu dan permasalahan yang terjadi. Dan bisa jadi, boomingnya isu karena adanya aksi ini memancing orang untuk melakukan hal-hal yang disebut di atas tadi: Langsung turun saja ke masyarakat lah, selesaikan langsung permasalahan dengan intelektualitas sebagai mahasiswa yang 'konon' banyak ilmunya dan Lebih baik langsung terapkan teknologi atau solusi tertentu yang bisa langsung diterapkan rakyat.

Inilah yang saya namakan dengan pembagian peran. Ada orang-orang yang berkontribusi dengan ikut aksi dan turut mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah dari waktu ke waktu. Yang dengan publikasi kajian-kajian dan opininya membuka mata orang lain untuk kemudian turut memikirkan dan bergerak. Ada pula orang-orang yang langsung bergerak di ranah grassroot. Langsung memecahkan permasalahan yang ada dengan optimalisasi sumber daya dan potensi. Mungkin ada pula yang tidak bisa melakukan keduanya, hanya saja dia pandai bermain media, maka dia memboomingkan isu tersebut lewat kata-kata, video, maupun poster-poster kreatifnya. Dan masih banyak cara-cara lain yang dilakukan tiap orang untuk bisa berkontribusi.

Lalu yang mana yang paling benar? Yaa, tidak ada. Semua benar selama tidak melanggar norma dan nilai yang berlaku.
Setiap orang memiliki perannya masing-masing dan yakinlah setiap orang memiliki jalan masing-masing untuk mengaktualisasikan perannnya. Ada suatu keterkaitan antarelemen disini. Bisa jadi mahasiswa yang memilih untuk mengikuti aksi adalah mahasiswa yang memang mengabdikan dirinya untuk menjadi kelompuk yang senantiasa mengawal kebijakan pemerintah. Mereka yang berperan sebagai kelompok penekan. Disadari maupun tidak, peran sekelompok massa yang mengawal kebijakan pemerintah tentu akan berpengaruh terhadap cara pemerintah dalam mengambil suatu kebijakan. Kalau saja semua adem-ayem tiap kali kebijakan diputuskan walaupun itu merugikan rakyat, bisa bisa pemerintahan akan beruabah menjadi otoriter karena tidak ada yang mengingatkan (nb: saya tidak menyatakan kebijakan sekarang merugikan, ini adalah pengandaian bila saja benar terjadi di masa yang akan datang). Dari sudut pandang saya, inilah peran mahasiswa yang berdemo di negara demokrasi ini untuk menyampaikan aspirasinya. Adanya pemboomingan isu di media-media sosial juga akan mencerdaskan orang lain mengenai permasalahan yang terjadi. Selain itu, bisa jadi isu ini menjadi hangat diperbincangkan di kalangan orang-orang yang terjun langsung ke rakyat lewat pemberdayaannya. Justru karena isu diboomingkan oleh massa aksi, mereka pun menjadi lebih tergerak untuk membangun sinergi dan menyelesaikan masalah lewat kerja-kerja sosial yang mereka lakukan.

Sederhana bukan? Pembagian peran bukan akan men-segmentasikan yang satu dan yang lain. Tapi justru akan membuka pintu-pintu dari masing-masing peran untuk saling bekerja sama dan bersinergi. Tidak ada yang lebih baik dari yang lain karena ini adalah kerja yang komplementer, saling melengkapi. Bukan suatu kerja yang akan bisa diselesaikan oleh satu dua kelompok saja. Butuh kesadaran antarelemen untuk menghasilkan kolaborasi demi terciptanya Indonesia yang lebih baik.

Pesan saya:
1. Berpikiran terbukalah. Karena pikiran seperti parasut, yang akan berfungsi dengan baik saat ia terbuka.
2. Tiap orang istimewa. Jangan pernah menganggap yang satu lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang lain. Tiap orang punya peran masing-masing dan tiap orang berhak menentukan jalan kontribusinya masing-masing.
3. Yuk berkolaborasi dalam kebaikan. Bersinergi dan saling melengkapi untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.

Yaa kiranya cukup sekian lah ya, saya akan kembali ke rutinitas saya dengan krispi, eh skripsi saya. Dan Anda kembali dengan rutinitas Anda.

Yogyakarta, 12-01-2017