Rabu, 04 Juli 2018

Perjalanan Yogyakarta-Jakarta-Surabaya: Hikmah#2 Belajar dari Mas Galih

Hanya ingin bercerita tentang seorang adik. Namanya Mas Galih, kelas 4 SD. Adik sahabat saya, Rahma, di asrama. Adik yang justru memberikan keteladanan pada saya yang umurnya jauh berada di atasnya :)

Sore itu saya tiba di rumah sahabat saya. Bersilaturahmi sekaligus mampir sejenak untuk beristirahat guna melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Seorang anak laki-laki terlihat masih malu-malu melihat orang baru dalam rumahnya. Saat maghrib tiba, barulah ia berani menyapa.

"Mba, aku numpang ngaji disini ya," kata Mas Galih sambil membuka Al-Qur'an dan langsung duduk di pojokan menghadap tembok.

Mas Galih mulai membaca. Mungkin terkadang panjang-pendeknya masih ada yang salah. Atau juga pelafalannya masih kurang tepat. Tetapi bahkan, ya Allah, saya hingga SMA pun masih terbata-bata membaca Al Qur'an.

Saya teringat dulu, ketika SMA, ada suatu acara pesantren kilat. Masya Allah, teman-teman saya yang non-Rohis begitu lancar membacanya. Dan ketika tiba giliran saya, justru saya yang anak Rohis, yang mungkin notabene-nya 'terlihat' lebih baik di bidang agama, malah membacanya dengan terbata-bata. Malu, malu, maluu rasanya saat itu. Sejak saat itulah saya berusaha memperbaiki bacaan saya. Memantaskan dan memperbaiki diri. Dan perbaikan-perbaikan itu baru bisa terealisasikan saat berkuliah, terutama yaa saat di asrama itu. Ya Allah, saya sangat jauh di bawah Mas Galih yang bahkan sudah membaca Al-Quran di umur yang entah saat itu mungkin saya baru membaca jilid :')

Setelah membaca Al-Qur'an, Mas Galih mengajak saya mengobrol. Duh Dik, umur segitu saya masih malu-malu bahkan seringkali bersembunyi bila melihat orang baru. Perlahan Mas Galih mendekati bunga di dalam vas yang saya bawa dari pernikahan salah satu sahabat saya, Aisyah, hari itu.

"Ini bunga apa Mba?" Tanya Mas Galih sambil menunjuk bunga terbesar yang berwarna putih.
"Itu bunga krisan Mas Galih," terang saya.

Lalu Mas Galih mulai menunjuk bunga-bunga lainnya dan menanyakan namanya satu persatu. Saya pun menjelaskannya. Untuk bunga-bunga yang bahkan tidak kami ketahui namanya, kami mencarinya di internet. Mas Galih terlihat tertarik dengan bahasan itu. Menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru.
Ternyata begini ya rasanya mempunyai adik yang masih dalam umur 'ingin tahu segala hal'. Kadang kesulitan juga bila menjelaskan apa yang tidak saya ketahui juga namanya.

Mungkin ini yang dirasakan Bapak hingga saat ini. Putrinya ini terlalu sering bertanya. Dulu saya senang sekali bertanya nama-nama tanaman, nama-nama hewan pada Bapak. Tanaman dan hewan, 2 hal yang paling menarik perhatian saya. Jalan-jalan, mendengarkan cerita fabel, ke kebun binatang, adalah hal yang paling saya senangi.

Meningkat sedikit umur saya, pertanyaan berganti menjadi bagaimana dan mengapa tentang hal-hal yang terjadi di sekitar. Meningkat lagi, pertanyaan menjadi semakin rumit.

Tapi Bapak selalu punya jawaban untuk pertanyaan putrinya: menjelaskan bagaimana cara menghafal nomor KTP, menjelaskan bahwa dengan melihat nomor KTP kamu bisa melihat tanggal lahir seseorang (yang tentunya karena pada KTP perempuan pada tanggal lahir ditambahkan 40, maka saya tidak bisa menemukannya saat itu -__-. Misal: seseorang lahir pada 23-10-1995 > di KTP laki-laki akan tertulis 231095, sedangkan di KTP perempuan akan tertulis 631095).

Hingga pertanyaan meningkat kembali dan saya mulai bertanya mengenai agama: "Kan ada hadits yang mengatakan kalau solat subuh di masjid terus berdiam sampe syuruq lalu sholat 2 rakaat, maka ia dapat pahala haji dan umroh yang sempurna, sempurna, sempurna. Padahal perempuan lebih baik di rumah, jadi kita gabisa dapet pahala itu dong kalo di rumah? Cuma buat laki-laki dong? Kan haditsnya kalo di masjid? Padahal kan aku mau juga dapet pahala kaya gitu," atau pertanyaan, "Sebaik-baik puasa adalah puasa daud dan tidak ada yang lebih baik dari puasa itu. Jadi kalo udah puasa daud gaboleh puasa yang lain kah, Pak? Atau gimana?"
Dan entah kenapa Bapak selalu bisa menjawab, atau bila tidak bisa, akan berusaha mencarikan jawaban.

Ternyata menjadi orang tua tidak sederhana ya. Perlu banyak belajar. Apalagi anak-anak akan selalu punya pertanyaan-pertanyaan 'tidak terduga' :')

Setelah puas menanyakan nama-nama bunga, Mas Galih beranjak untuk belajar, minta didampingi Ibu dan Mba Ima-nya *Ima=nama panggilan Rahma di rumah. Saya menyimak di sampingnya.

Masya Allah, di situ saya sadar apa yang hilang selama ini dari diri saya selama belajar di perkuliahan :')

Semangat untuk benar-benar belajar.

Iya. Mas Galih begitu bersemangat mengerjakan soal-soal yang bahkan bukan PR yang diberikan.
Saat itu saya sadar, terakhir kali saya memiliki semangat seperti itu adalah saat SMA, untuk mata pelajaran Kimia. Soal-soal di buku sudah dikerjakan dan buku paket sudah dipelajari jauh sebelum materi dijelaskan. Di kuliahan? Belajar hanya saat akan ujian. Astaghfirullah :'

Esoknya, saya berpamitan. Kata Rahma, Mas Galih mudah dekat dengan teman-teman Rahma dan akan sedih bila temannya berpamitan. Benar saja, Mas Galih ndak rela kalau teman Rahma pulang.
"Mba Isti, Mba Ima, Ibu, Mas Galih kapan-kapan boleh kan ya main ke rumah Mba Isti?"
"Boleh Mas Galih, main aja yah kapan-kapan :)"
________________________________________________________________________

Nyaris setahun lalu sudah.
Hanya beberapa waktu bersama dan saya belajar banyak dari Mas Galih.
Tentang kecintaan pada Al-Qur'an yang harus ditanamkan sejak dini,
Tentang menghadapi seorang adik yang selalu ingin tahu itu dan ini,
Tentang semangat belajar tanpa henti.

Dan, saya merasakan, benarlah kata orang, seringkali, belajar itu bukan tentang "siapa", tetapi tentang "apa" :)

*Postingan nyaris setahun lalu yang baru diselesaikan

Senin, 05 Februari 2018

Thanks Jan, Welcome Feb :)

Terima kasih Januari,
Untuk segala pelajaran hidup di bulan itu yang begitu-tidak-bisa-diceritakan. Iya. Hanya untuk disimpan. Terlalu banyak hal yang tidak-untuk-diungkapkan, tetapi begitu membawa banyak pelajaran.

Selamat datang Februari, bulan baru.
Tidak berniat mengganti buku yang lalu, hanya membuka lembar yang baru.
Kadang meringis-miris sekaligus tersenyum-sipu-pilu mengingat apa yang telah lalu di Januari itu.
Ah tak apa, bila tak pernah terjadi, bukankah diri ini kehilangan kesempatan belajar?
Walau sempat gugu-terpaku-membisu, tapi diri ini masih akan memperjuangkan sesuatu itu.
Karena segala sesuatu yang kita anggap berharga memang patut diperjuangkan bukan?
Menyerah karena adanya hambatan dan permasalahan hanya kan membawa penyesalan.
Hanya kali ini mencoba jalan yang berbeda untuk memperjuangkan.

Percayalah, selalu ada jalan untuk mereka yang masih mau berjuang.
Bukan begitu? :)

Senin, 15 Januari 2018

Menjaga Keberkahan

"Diantara sekian banyak ketidakmungkinan, masih ada celah-celah kemungkinan. Asal diri tetap percaya, asal diri tetap mau berusaha"
Menantang diri di bulan Januari. Hanya karena perkataan seorang penjual kepada pembeli.

"Mas maaf, disini bisa sekalian install aplikasi lain ngga ya?"
"Wah maaf mba, disini kami installkan Windows 10 nya ori seperti di brosur, gratis. Kalo untuk microsoft officenya 1.3jt mba. Untuk aplikasi lain kami tidak menyediakan. Kalo mau install yg bajakan mungkin bisa di tempat lain."


Jleb.

Niat hati mau sekalian menginstall aplikasi-aplikasi desain untuk memulai usaha mencari uang. Tapi langsung buru-buru mengurungkan niat.
"Oh oke mas, makasih banyak. Udah itu aja dulu :) "

Membiarkan kembali penjual untuk melayani pembeli lain. Lalu beranjak pulang.
Perkataan penjual yang sederhana dan jujur, namun membuat diri saya kembali merecall tekad diri tahun lalu yg belum terlaksana.

"Ti, kamu tu mau desain buat cari uang kan? Buat tabungan masa depan. Buat menghidupi diri kamu sendiri dan bisa jadi menghidupi orang lain ke depan. Yakin mau usaha pake aplikasi berbayar yang ngga kamu bayar? Yakin berani kalo pada akhirnya uang yg kamu dapat itu akan jadi makanan yang masuk ke perut dan mengalir dalam tubuh, jadi daging, untuk selamanya? Ngga cuma buat kamu, tapi juga buat keluargamu? Yakin itu akan membawa keberkahan?"

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkelebat dalam diri.

***

Bulan Desember lalu..

"Assalamu'alaikumUkh, bisa minta tolong?"
Sebenarnya saya geli sendiri dipanggil Ukh, biasanya saya lebih sering minta dipanggil nama oleh kakak-kakak.

"Ya Mas, bisa bantu apa?"
"Bisa desainin undangan kah?"
Saya langsung membalas refleks,
"Mas yakin? Saya masih newbie di desain, baru bisa pas kuliah. Belum pernah buat undangan. Yakin mau minta tolong saya? Saya lagi gaada laptop buat desain juga."
Dalam batin saya: apalagi ini acara penting dan resmi.
"Iya Ukh gapapa, laptopnya nanti bisa Mas pinjemin. Tapi sekarang Mas lagi ngga di Jogja."
"Iyq gapapa Mas. Insya Allah aku mau beli laptop kok Mas."
"Oh oke."

Dan hingga bulan Desember berakhir, desain itu belum kunjung saya buat. Laptop pun belum kunjung terbeli. Beberapa kali mengajak teman untuk menemani membeli, tapi belum kunjung terlaksana. Apalagi akhir Desember menjadi saat yang cukup membuat saya memikirkan banyak hal, pulang ke rumah pun terpaksa saya tunda. Persiapan DPMK, hari DPMK, Camping Qur'an di UNS, dan acara walimahan teman di luar kota menjadi agenda2 yang cukup membuat fokus saya teralihkan.

1 Januari..

"Ukh, gimana? Udah dibuat desainnya?" tanya si kakak.
"Wah belum Mas. Maaf ya Mas. Saya baru balik Jogja hari ini. Insya Allah besok saya beli laptopnya."
"Kalo bisa segera ya Ukh. Syukron Ukh."

Segera saya mengajak teman untuk membeli.
"Ma, besok kamu ada agenda ngga?"
"Mau ke bank Titii, kenapa?"
"Temenin aku beli laptop yuk."
"Eh ayoook."
Akhirnya, ditemani Rahma, laptop itu terbeli juga.

***

Keberkahan.

Konsep keberkahan menjadi sesuatu yang membekas dalam diri. Entah dari mana saja datangnya pengetahuan itu. Mungkin dari kelas-kelas di KnKEI SEF FEB UGM tahun lalu, kajian-kajian, diskusi dengan teman-teman. Begitu membekas.

Maka, Bismillah.
Diri ini membulatkan tekad.

Cari yang insya Allah lebih berkah aja, Ti.
Berbekal wifi kampus, saya memulainya.

Search: "Aplikasi open source"

Muncullah nama-nama aplikasi yang bisa didownload gratis tanpa membayar.
Inkscape, aplikasi yang dikatakan mirip Corel, dan GIMP, aplikasi yang dikatakan mirip Photoshop, menjadi 2 aplikasi yang saya pilih untuk mengerjakan DL terdekat.
Sip.

Sepulang dari kampus, saya mencoba dua aplikasi itu.

Iya, mirip. Mirip, tapi tidak sama.
Dan ternyata ketidaksamaan itu cukup membuat saya ingin menyerah. Dikejar DL, tapi nekad memakai aplikasi baru. Ctrl dan z menjadi 2 tombol tersering yang saya gunakan. Berkali-kali salah. Berkali- kali mengulang.

Hari pertama berakhir dengan tidak ada kemajuan.
Ternyata susah walaupun katanya mirip. Iya mirip, tapi banyak bedanya juga :'
Bahkan sampai sekarang saya tidak tau sebenarnya di Inkscape ada perintah crop atau tidak.
Aih, ingin menyerah saja rasanya.
Boleh ngga nangis? :'
Kata saya pada diri saya sendiri. Lelah dengan semua itu sedangkan DL sudah di depan mata.

Atau install Corel bajakan aja ya buat ngejar DL yang ini? Pikir saya.
Tapi urung niat itu saya laksanakan.

Ngga Ti, ini bakal jadi uang. Yakin mau pake uang itu? Yakin berkah?

Pertanyaan itu menjadi pengingat diri saya dan mengantarkan saya untuk menutup saja laptop saya hari itu.

Esoknya, 3 Januari, saya berkutat kembali dengan 2 aplikasi yang sama.
Ctrl Z masih jadi tombol andalan, tetapi cukup berkurang dibandingkan hari sebelumnya. Saya perhatikan baik-baik ikon-ikon dan menu-menu yang ada. Iya mirip, tapi beberapa berganti nama dari yang ada di Corel. Membuat saya harus membiasakan ulang.
Sulit? Iya, sulit rasanya menggunakan yang tidak biasa digunakan.
Tapi lama-lama terbiasa juga.

Alhasil, hari kedua saya lewatkan dengan progress undangan 20%. Setidaknya undangan depan sudah setengah jadi, batin saya.
Langsung saya kirim untuk segera mendapat masukan.
Revisi pun langsung saya kerjakan.

4 Januari. Saya mulai terbiasa.
AlhamdulillahProgress 80% menjadi progress akhir hari itu.
Alhamdulillah, Allah masih menguatkan saya untuk tetap teguh dalam tekad saya dan  membantu saya untuk belajar dengan cepat.
Progress pun saya kirim.
Ubarampe lain diminta untuk dibuat pula.
Sip. Baik.

5 Januari.
Segala ubarampe, mulai dari desain Al Ma'tsurat, gantungan kunci, undangan online, kartu souvenir, saya buat berdasar copas dan reposisi dari desain undangan cetak.
Done.

"Ukh, bisa kirim jpeg sama cdrnya ke Mas?"

Ini bagian yang sudah saya pikir sejak awal. Kalau sudah mau naik cetak, gimana? Karena saya pun biasanya kalau mau cetak, filenya saya bawa dalam bentu ekstensi .cdr.

Akhirnya saya pun berkata apa yang sebenarnya.

"Mas, sebenernya ini filenya bukan .cdr e. Gimana ya. Nah aku gatau ini file bisa kebaca di corel ngga. Pakenya .svg. Pake aplikasi inkscape. Aku pake software2 opensource mas. Gaberani pake bajakan buat cari uang. Aku baru belajar. Ini punya mas percobaan pertamaku buat pake aplikasi ini."

Iya, beberapa hari itu, saya sama sekali tidak bercerita apapun. Susah ya saya sendiri yang susah. Yang penting masnya tau jadi, begitu pikir saya. Masa iya kesusahan mau diceritakan, takut malah kakak tersebut jadi tidak tenang karena saya pun masih kesulitan menggunakan aplikasinya.

"Oh gitu, yaudah Ukh kirim aja."
"Oke besok ya Mas, cari wifi."

6 Januari.
"Ukh, saya udah tanya, percetakan gabisa kalo gapake Corel. Gimana dong?"

Aih, bad news in the morning wkwk.

"Pake .png mas. Masa gabisa?" Ya kan paling tinggal import. Cetak deh. Pikir saya.
"Emang ngga pecah ya?"
"Nah, sejak awal aku dah mikir itu mas makanya aku sebelum DL emang mau aku coba cetak sendiri dulu satu."
"Yaudah aku coba tanyain bisa ngga .png"

Tidak sampai 2 jam, datang bad news kedua.
"Kata percetakannya gabisa pake .png. Gimana ya? Mesti segera naik cetak soalnya."

Jujur, saya sebenernya juga panik bacanya. Bedanya, saya sudah siap akan ada berita kaya gini sejak awal wkwkwk
Jadilah jawaban yang saya tuliskan malah sok-sokan, "Lah mas kan nge DL tgl 10 kan. Aku niatnya emang coba nyari yg bisa cetak dulu."

Dalam hati saya: waduh, dimana ya yg bisa cetak dari .png. Bingung. Karena saya juga taunya biasanya cetak dari .cdr wkwk

Akhirnya saya hubungi teman saya untuk meminta kontak percetakan undangan. Dapat 2. Salah satunya CS nya saya tahu teman saya sendiri saat di organisasi. Segera saya hubungi.
"Mas, mau nanya boleh kah? Kalo misal nyetak undangan desain dah jadi bisa ngga ya? Tapi formatnya .png."
"Wah ngga bisa e Ti, bisanya dari AI atau Corel."
"Oh yaudah, oke. Makasih infonya Mas."

Great. Bad news ketiga :'D

Ya Allah, pengen cari yang lebih berkah kok susah banget yaa. Adaaa aja.
Saya hanya bisa menggumam dalam hati.

Sedih, pengen nangis, mana udah mepet DL. Tapi juga lucu. Giliran susah desain udah kelewat, e ternyata cetaknya susah juga. Lucu, pengen ketawa juga. Campuraduk.

Saya coba hubungi yang satu lagi.
"Oh, nanti coba saya tanyakan bagian produksi ya mba."

Tik tok tik tok...
Ehmmm.. Saya menanti dengan harap-harap cemas. Daripada hanya berharap lebih baik berusaha juga, pikir saya.

Sip. Saya bertekad untuk keliling Jogja. "Pantang pulang sebelum menemukan tempat cetak undanganmenjadi tagline saya hari itu wkwkwk. Lol sih, tapi tekadnya seriusan. Mau gimana lagi, mau gamau saya harus bertanggung jawab dengan desain yg hanya .png dan bukan .cdr seperti standar biasanya.

Akhirnya saya mencoba di dekat kosan lama.
"Mas, mau nanya2 dulu boleh? Kalo mau cetak, desain dah jadi bisa ngga ya?"
"Bisa bisa. Mba ada cdr nya?"

Nah, ini pertanyaan yg paling saya takutkan wkwk
"Kalo dari .png bisa ngga ya mas? Soalnya saya ngga buat di Corel jadi bukan .cdr. Tapi takut pecah gitu."
"Oh, coba saya liat dulu .png nya."

Saya buka desain jadi itu di laptop saya.
"Coba perbesar mba. Lagi. Lagi. Lagi."
*'Lagi' nya jangan dibaca ala-ala Teletubbies ya wkwk*
"Kalo saya liatmasih aman sih buat dicetak."
"Berarti bisa Mas?"
"Bisa. Mau cetak berapa Mba?"
"Alhamdulillah. Bentar Mas saya tanyain dulu. Bukan saya yg mau cetak, bukan saya yg mau nikah soalnya wkwk."

Pesan WA masuk, "Mba, bisa cetak dari .png."

Alhamdulillah. Good news. Dua langsung! :')

Ya Allah, fa inna ma'al 'usri yusro. Inna ma'al 'usri yusro. Bersama kesulitan ada kemudahan. Janji-Nya.
Iya, bersama banget! Dalam satu hari yg sama :')

"Diantara sekian banyak ketidakmungkinan,
Masih ada celah celah kemungkinan.
Asal diri tetap percaya,
Asal diri tetap mau berusaha"

Alhamdulillah.
Allah masih memberi saya kesempatan dan jalan untuk memegang prinsip itu sampai selesai DL desain pertama ini. Mungkin saya idealis. Atau lebih tepatnya: iya, saya idealis untuk masalah satu ini.

Bukan masalah sok-sokan atau gimana. Memangnya mudah? Ndak. Mana ada mudah meninggalkan sesuatu yang biasa digunakan dan menggantinya dengan yang baru dan samasekali asing. Saya kesusahan? Iya, jujur, saya kesusahan pada awalnya.

Tapi saya benar-benar ingin rezeki yang didapat, saya dapat dengan cara yang menurut saya lebih berkah. Mending saya susah sekarang, daripada terlampau mudah tapi ternyata menggunakan yang 'ilegal' dan keterusan. Saya ngga mau saya kasih makan keluarga saya nanti pakai uang hasil jual jasa desain dari aplikasi bajakan yang keberkahannya diri saya pertanyakan :')

Karena uang-uang yang saya dapat saat ini, sudah saya niatkan untuk ke depan. Saya ngga mau dalam diri anak-anak saya nanti mengalir uang-uang yang saya sendiri mempertanyakan: berkah kah uang ini?

Iya, saya idealis untuk urusan ini. Tapi kalau ditanya, 'emang udah ngga pake 100% bajakan?', saya pun ngga akan menjamin 100%. Saya masih belajar, masih berusaha. Belum sepenuhnya. Masih jauh mungkin. Tapi saya berusaha, sedikit demi sedikit meninggalkan. Sekali lagi, masih belajar.

***

Hanya sedikit berbagi. Tentang pergolakan diri. Tentang melawan diri sendiri. Tentang sebuah tekad baru di tahun yang baru. Tentang menjaga keberkahan :)

Doakan. Semoga Allah terus meng istiqomah kan saya, menjaga dan menguatkan langkah saya ke depan :')

Sabtu, 30 September 2017

Mengurus Kehilangan KTM (Lagi)

Ini adalah kesekian kalinya saya mengurus kehilangan benda berukuran sebesar kartu nama yang menjadi bukti bahwa saya mahasiswa; KTM.
Layaknya kunci yang sudah hilang ketiga kalinya di parkiran hingga mas-mas parkiran hafal dengan saya, benda ini mengikuti rekor kunci tersebut. Hilang untuk ketiga kalinya.

Saya pun sedikit banyak menjadi hafal bagaimana cara mengurus benda mungil itu:
1. Urus surat kehilangan di kantor polisi > biasanya saya mengurus di Polsek Bulaksumur di selatan Bulaksumur Residence. Bilang, kehilangan KTM, mau mengurus surat kehilangan. Yang perlu disiapkan adalah KTP atau tanda pengenal dan rincian barang yang hilang: barangnya apa, hilang di mana, NIU berapa. Dalam sekejap, jadi!
2. Selanjutnya, transfer Rp20.000,00 ke rekening untuk pengurusan pembuatan KTM (nomor rekening bisa didapat di DAA > sekarang istilah DAA apa ya? Pokoknya kantor yang ada di daerah seberang Gelanggang lah. Yaa itu lah yaa).
3. Datang ke DAA, bilang mau mengurus pembuatan/cetak KTM hilang. Kadang jadi dalam beberapa hari, kadang langsung jadi.
4. Selesai, punya KTM lagi deh :)

Ah, sedikit bercerita. Mungkin penting mungkin tidak.
Tapi saya hanya terharu akan Bapak Polisi yang bertugas kemarin saat saya mengurus surat kehilangan. Kemarin adalah pertama kalinya, sekali lagi, pertama kalinya, saya tidak dimintai 'dana administrasi seikhlasnya' untuk pembuatan surat kehilangan. Selalu salut dengan orang-orang begitu. Entahlah, apa kali ini aturan sudah diperketat atau saya yang kebetulan 'bejo' diuruskan oleh Bapaknya. Bener-bener ya, walaupun paling kalau bayar juga 'cuma' bayar Rp5.000-10.000,00, tapi bagi anak kos itu berharga wkwk. Dan yang lebih berharga lagi adalah kejujuran Bapaknya :)

Dan refleks saja saat itu saya yang heran hanya bisa mendoakan dalam hati agar rezeki dan urusan Bapaknya dilancarkan, dimudahkan, karena memudahkan urusan dan mengangkat satu beban pikiran dari mahasiswa akhir penuh kegalauan ini *alay wkwk

Yasudah. Sekian ketidakjelasan kali ini. Semoga langkah pengurusan kehilangan KTMnya bermanfaat~

Perjalanan Yogyakarta-Jakarta-Surabaya: Hikmah#1 Kalah Cepat

Yogyakarta, 20 September 2017

Siang itu saya bergegas ke stasiun.

"Iskom, pulang Senin aja."
Hmm saya pun berpikir begitu. Terlalu melelahkan ketika Rabu dari Jogja, Kamis sampai Jakarta, Jumat ke Surabaya, Sabtu sampai Surabaya dan Ahad pagi kembali ke Jogja. Maka jadilah hari itu saya menukarkan tiket kepulangan Surabaya-Yogyakarta tanggal 24 September dengan 25 September.


*Berbagi sedikit tentang memundurkan/memajukan tiket. Datanglah ke customer service, nanti akan diberikan blangko permintaan penggantian jadwal kereta. Bilang atau isikan pada blangko mengenai perubahan-perubahan tersebut. Lalu pergi dari CS dan pergi ke loket untuk mencetak bukti bayar yang baru dan mendapatkan kode booking. Uang yang sudah dibayarkan saat pembelian tiket yang lalu akan terpotong 25%nya. Bayarkan kekurangan tersebut. Selesai. Jadwal keberangkatannya akan berganti sesuai jadwal keberangkatan yang baru :)


Hari itu di stasiun cukup ramai. Antrian CS tidak terlalu seramai antrian loket. Tidak berapa lama setelah mengambil nomor antrian, saya mengurus ke CS lalu diarahkan untuk mengambil antrian loket.

Antrian loket ternyata jauh lebih membutuhkan kesabaran dibanding antrian sebelumnya. Masih ada 80 nomor di depan yang harus ditunggu untuk menuju giliran. Karena orang di sebelah saya sepertinya tidak tertarik untuk berbincang, maka seperti biasa, saya pun lebih memilih untuk menggunakannya untuk membaca buku. Daripada waktu itu terbuang sia-sia.

Satu jam berlalu sudah.
Orang di sebelah saya berganti entah sudah keberapa kalinya. Kali ini seorang perempuan yang sepertinya lebih tua sedikit dari saya duduk di sebelah, memulai perbincangan. Saya tersenyum, menutupkan buku yang ada di tangan. Yaa perbincangan seputar hendak kemana dsb. Basa basi khas ala orang yang hendak bepergian. Orang yang ramah, pikir saya. Sebut saja namanya Mba Bunga. Mahasiswi di salah satu universitas swasta di Yogyakarta.

Tak lama kami berbincang, datang seorang perempuan yang sepertinya kisaran 30an tahun datang dan duduk di sebelah Mba Bunga. Terlihat kebingungan. Ibu itu adalah orang yang akan diperhatikan di keramaian karena dirinya 'berbeda' dari orang kebanyakan.

"Mau kemana, Bu?" Tanya Mba Bunga ramah.

Ibu yang terlihat ada keterbatasan fisik itu pun dengan agak terbata-bata menjelaskan,

"Saya mau ke Nganjuk Mba, mau pulang. Tapi saya ngga punya uang. Ini saya dari Tugu jalan ke sini. Tadi di sana saya bilang uang saya hilang malah diusir, disuruh minta-minta, padahal saya mau beli tiket tapi dompet saya hilang Mba. Gara-garanya tas saya dirobek oleh orang. Waktu saya liat lagi dompet saya udah ngga ada di tas, barang-barang saya juga."

Ibu itu membuka tas besarnya dan menunjukkan tas punggungnya yang dirobek.

Saya pun turut menyimak percakapan.

"Owalah, la terus Ibu ini mau gimana kesananya? Memang tiket kesana berapa harganya, Bu?"

"55ribu Mba. Tapi saya udah gapunya apa-apa Mba."

Mba Bunga berbisik ke saya dan mengatakan, kasihan.

Yap, saya pun merasa demikian. Kok ada yang tega-teganya merobek tas seorang ibu dengan keterbatasan, ya Allah.

Tapi tentu saja maraknya penipuan yang menimbulkan 'rasa kasihan' membuat saya tidak serta merta memberikan bantuan. Bukannya tidak percaya, tidak mau membantu, atau apa. Tapi menjadi orang polos dan memberi hanya berdasar kasihan sepertinya sudah tidak bisa diterapkan saat ini.

Saya pun menanyakan, " La Ibu ada KTP kah Bu? Kan kalau beli tiket kereta harus pake identitas Bu."

Si ibu terlihat ingin menangis, dengan susah payah ia berkata, " Gaada Mba, dompet saya seisi-isinya semuanya hilang Mba. Saya ngga ada KTP."

Duh Gusti. Di satu sisi saya ingin membantu, tapi di sisi lain saya tidak ada pegangan untuk memastikan benar tidaknya. Identitas pun tidak ada.

"Terus ibu mau kesananya gimana Bu? Kan kalo gaada KTP gabisa beli tiket."

"Tadi saya disuruh beli tiket ke Solo aja Mba. Terus dari Solo ke Nganjuk, saya disuruh naik bis."

Mba Bunga masuk dalam percakapan kami, "Ibu yakin nanti di Solo ibu ngga bingung gimana nyari busnya?"

"Yaa nanti disana tanya orang lagi Mba. Ya gimana, saya juga gatau apa-apa. Cuma bisa ngandalkan tanya orang."

Mba Bunga pun tersenyum dan merogoh dompetnya. Mengeluarkan selembar 10ribuan dan memberikannya ke Ibu itu.

"Yaudah, Bu. Ibu sekarang pergi ke loket, bilang beli tiket ke Solo sekarang. Saya yang bayarin."

Sang Ibu terlihat berkaca-kaca lalu bergegas ke loket untuk membeli tiket.

"Mba, katanya saya disuruh langsung masuk. Keretanya bentar lagi."

Ibu itu pun menunjukkan tiketnya. Sekitar 20-30 menit lagi.

Mba Bunga kembali mengeluarkan uang dari dompetnya. Selembar 50ribuan.

"Ibu, ini uang buat nge-bis ya Bu, jangan dipake buat yang lain-lain. Nanti kalo udah sampe Solo, tanya, kalo mau naik bis ke Nganjuk harus ke mana."

Sang Ibu hanya bisa berkaca-kaca sembari mengucap terima kasih. Lalu ibu itu bergegas masuk.

Saya yang tadinya pun berniat ingin membantu hanya terdiam. Masya Allah, kalah cepat dalam berbuat kebaikan itu rasanya... :')

"Ya Allah ada ya yang tega ngerobek tas Ibunya. Padahal ada keterbatasan. Kasian Ibunya," kata Mba Bunga pada saya.

Saya pun hanya menganggukkan kepala.

"Tadinya saya mikir ini Ibunya beneran ngga, tapi pas dirasa-rasa, didengerin ceritanya kayanya kok ngga bohong."

"Oiya Mba emang tiket bis Solo Nganjuk berapaan?"

"Oiya ya."

Kami pun mencari harganya di internet. Sekitar 45-50ribu.

"Ya semoga cukup ya uangnya. Dan semoga sampai sana nanti ada yang mau bantu Ibunya lagi."

Saya hanya bisa meng-aamiin-i.

Tepat setelah kejadian itu, nomor antrian saya dipanggil ke loket. Nyaris saja terlewat. Saya pun berpamitan ke Mba Bunga dan bergegas pulang karena harus mempersiapkan perjalanan sore itu ke Jakarta.

Dan siang itu, saya bersyukur. Mengantongi beberapa pembelajaran, belajar dari buku yang saya baca, dan belajar dari apa yang terjadi di sekitar saya.

Pembelajaran, hikmah, sebenarnya terserak di mana-mana. Maka dalam Al-Qur'an seringkali disebutkan, tidakkah kamu berpikir, tidakkah kamu mengamati, dan kata-kata penyadaran lainnya. Maka, berpikirlah. Latih kepekaan akan 'hal-hal kecil bernilai besar' di sekitar kita :)

Kamis, 28 September 2017

Kesempatan dan Penyesalan

Mengutip beberapa kalimat yang saya baca dalam sebuah novel:

"20 tahun dari sekarang, kamu akan lebih menyesali apa-apa yang tidak kamu lakukan daripada apa-apa yang kamu lakukan."

Pernah mendengar kalimat tersebut? Tidak asing bukan? Sebuah kalimat yang saya baca dulu, entah kapan tepatnya. Tapi begitu membekasnya kalimat itu hingga saat ini.

Penyesalan pertama.

Malam ini saya berbincang via online dengan seorang adik yang mengikuti suatu beasiswa yang sebenarnya dulu sangat ingin saya daftar tapi tidak jadi karena ketidak-pede-an saya. Seorang adik super inspiratif yang bahkan di akhir ceritanya ia berkata, "menulis itu bagian dari hidupku mba."

Bercerita panjang lebar tentang beasiswa itu membuat saya sebenarnya menyesal. Mengapa dulu saya tidak mencobanya? Mengapa patah arang sebelum berjuang?

Ah, selalu begitu. Dan ini bukan yang pertama kalinya.

Akan saya ceritakan sedikit tentang beasiswa ini. Namanya beasiswa Aktivis Peneleh. Saya sangat mengingat dulu saya tidak berani mendaftar karena orang-orang yang saya kenal terlihat sangat 'wah' dengan kontribusinya di masyarakat.

Pada kesempatan itu adik itu menceritakan yang penting mencoba dulu dan penuhi saja syaratnya. Dia bercerita bahwa disana ia diajarkan untuk produktif menulis. Ada hak, ada kewajiban. Untuk mendapatkan hak berupa beasiswa, ada kewajiban menulis yang harus ditunaikan. 4 berita, 1 opini per bulan. Menurut saya, betapa beruntungnya, mendapat suatu sistem yang mau tidak mau 'memaksa' untuk menjadikan diri ini produktif untuk menulis. Memaksa, tapi juga melatih kita untuk terbiasa. Dan saya begitu merasakan saat ini. Menulis adalah sesuatu yang wajib dipelajari sejak dini. Wajib. Karena gagasan, pikiran, ide, bisa tersalurkan tanpa dimakan waktu melalui tulisan. Ucapan seringkali akan terlupakan atau bahkan berubah makna seiring pergantian zaman. Tulisan akan mengabadikan semuanya.

Penyesalan kedua.

Berbincang dengan adik itu mengingatkan saya akan orang yang saya kenal dari suatu acara sosmas, penerima beasiswa itu pula di periode sebelumnya.

Saya selalu merasa kagum dengan orang-orang yang bisa berkontribusi lewat ke khasannya, kemampuannya, bidang ilmunya dengan sepenuh hati dan semaksimal yang ia bisa. Dan entah kenapa saya paling kagum dengan orang yang mendalami bidang sosial-masyarakat, walaupun tentu saja orang lain pun hebat dengan kontribusi di bidangnya.

Dan pertama kali saya bertemu orang itu, saya langsung kagum akan bagaimana kesinkronan antara passion dan apa yang sedang ia jalani: tentang bagaimana terjun ke masyarakat. Saya kagum dengan keluwesanya berbincang dengan staf dan peserta dalam acara tersebut. Mengalir saja. Sebagai orang yang hanya menilai dari luar dan hanya sebatas kenal sebentar saja, saya bisa merasakan bahwa ia menikmati dunianya. Dan sepanjang acara itu, saya benar-benar mendapatkan banyak pelajaran berharga tentang bagaimana terjun ke masyarakat. Mungkin kata orang, "apa yang disampaikan dengan hati, kan masuk ke hati." Dan mungkin karena panitia melaksanakan acara itu sepenuh hati, maka materi yang diberi masih berkesan hingga saat ini.

Lalu, setelah acara itu berakhir, ada sebuah acara besar lagi yang diadakan. Temanya sama, tentang sosmas. Bertepatan dengan hari raya Idul Adha dan dilaksanakan di sebuah desa di Yogyakarta. Tadinya, saya sudah benar-benar akan mengikutinya. Bahkan sudah membayar biaya pendaftaran. Saya sudah membayangkan bagaimana serunya terjun ke masyarakat bersama teman-teman lain. Tapi Qadarullah, yang lebih berhak untuk dipenuhi baktinya meminta saya untuk pulang; orang tua. Akhirnya saya yang harus membatalkan keikutsertaan saya di acara tersebut. Hanya bisa coba ikut serta dengan biaya yang sudah dibayarkan dan tidak mengambilnya kembali, karena keinginan untuk ikut itu masih ada. Bahkan hingga saat ini.

Malam tadi saya melihat video acara tersebut dan rasanya.. Yaa mau bagaimana lagi, terlanjur sudah tidak ikut. Dan yang lalu ya sudah berlalu, tidak bisa diulang lagi 

Penyesalan ketiga.

Semangat ingin terjun ke masyarakat itu masih tetap ada. Ya, sejak awal saya ingin berkontribusi di bidang Pengabdian Masyarakat/Sosmas di organisasi. Kesempatan pertama kali, saya mencoba mendaftar di BEM Fakultas. Ditolak. Baiklah. Coba kesempatan lain.

Kesempatan kedua, saya mencoba mendaftar PM di sebuah organisasi mahasiswa kesehatan nasional di tingkat regional Jogja. Alhamdulillah diterima. Ternyata, melakukan hal yang sesuai dengan minat memang sangat menyenangkan :')

Di organisasi itu, sungguh saya merasa sangat senang. Merasa sangat beruntung. Hingga saat pergantian kepengurusan, saya dilobby untuk menjadi kepala divisi PM. Ya Allah, seolah mimpi untuk berkontribusi makin terbuka lebar. Namun, saat itu, di saat yang bersamaan, amanah sebagai bendahara di satu organisasi dan juga amanah sebagai sekretaris di organisasi lainnya, baru saja saya pegang. Amanah bendahara yang sebelumnya sudah saya coba untuk tolak karena sudah diamanahi sebagai sekretaris di organisasi lain ternyata tidak berhasil untuk dialihkan ke orang lain, forum tetap berkata demikian. Bila bisa saya memilih sejak awal, sepertinya saya akan lebih memilih untuk berkontribusi di PM ini dibandingkan dengan bendahara dan sekretaris itu. Namun sayang, kesempatan ini datang belakangan.

Maka dengan berat hati saya memutuskan untuk tidak menerima dan tidak bisa aktif lagi di PM untuk mengemban 2 amanah lainnya. Rasanya melepas apa yang disukai itu berat. Tapi daripada apa yang disukai itu menjadi buruk karena diri ini yang tidak maksimal, saya memilih untuk melepaskan. Dan..apa ya...rasa berat itu, menyesalnya, bahkan terbayang hingga sekarang.

Penyesalan keempat.

Dan di tahun akhir, saya kembali ditawarkan sebuah kesempatan untuk berkontribusi bersama di bidang kemasyarakatan di suatu organisasi mahasiswa. Hanya saja lingkupnya agak berbeda dengan yang lalu. Bila sebelumnya menjadi orang yang langsung terjun ke masyarakat lewat tindakan nyata, maka kali ini terjun dengan risetnya. Ya Allah, sebenarnya betapa ingin diri ini mengiyakan. Tapi, pesan orang tua selalu terkenang, "Ndak usah ambil amanah apa-apa lagi, Dek. Fokus skripsian aja."

Berat? Berat. Apalagi ini adalah yang kesekian kalinya. Seolah diberi kesempatan lagi, tapi sekali lagi, tidak bisa mengambilnya :')

Maka kali itu, untuk kesekian kalinya, saya menolak dan mencoba menyarankan orang lain yang lebih berpengalaman. Bukan karena saya tidak ingin, tapi ada pesan orang tua yang berat untuk tidak dilaksanakan.
Saat ini, terkadang saya merasa menyesal mengapa tidak mengiyakan. Tapi di sisi lain, bila mengiyakan, saya pun tidak tau akan menjadi seperti apa diri saya sekarang.

Hari ini, belum mencapai 20 tahun dari kejadian, dan begitu banyak penyesalan. Saya tahu, hal ini bukan untuk dikeluhkan ataupun disesalkan. Tapi begitu sulit mencari padanan kata yang lebih tepat selain kata menyesal. Hanya sekadar berbagi pengalaman, tentang apa-apa yang justru tidak bisa saya lakukan padahal saya inginkan. Dan saya berkaca, itu karena ketidakbisaan saya berkata tidak untuk apa yang tidak saya inginkan.

Maka bila kalian mendapat kesempatan, perhitungkan matang-matang. Bila tidak sesuai dengan yang kalian inginkan dan masih ada yang bisa kalian kejar, jangan ragu untuk berkata tidak pada yang tidak kalian inginkan. Jangan sampai 'iya' pertama yang 'terpaksa' justru memunculkan 'tidak' di kesempatan lain yang sebenarnya kalian inginkan dan memunculkan penyesalan-penyesalan.

Memang tidak ada yang sia-sia dalam hidup dan pastinya setiap keputusan yang kita ambil dahulu, telah berhasil membentuk kita yang sekarang.
Tapi untuk ke depan, cobalah untuk merencanakan. Melihat langkah-langkah apa yang kita butuhkan, langkah-langkah apa yang kita harus lakukan, untuk membentuk diri yang kita inginkan ke depan.

Perhitungkan matang-matang tiap keputusan, Kawan. Apa yang sebaiknya dan tidak sebaiknya dilakukan. Apa yang sebaiknya dan tidak sebaiknya diterima. Apa yang sebenarnya dan tidak sebenarnya kalian ingin untuk lakukan. Rencanakan. Jangan sampai 20 tahun dari sekarang penyesalan itu datang :)

Kamis, 07 September 2017

Berat atau Tidak Bergantung Niat

Pagi kemarin saya bercerita kepada seorang teman tentang sesuatu yang saya rasa begitu sulit untuk dilakukan. Saya menanyakan apa yang sebaiknya saya lakukan.

Dan ternyata kami memiliki masalah yang tidak jauh berbeda. Maka tidak ada penyelesaian yang berarti, hanya berujung saling bertukar cerita.

Dan sore ini, kontan, Allah membantu saya untuk menjawabnya. Lewat konteks yang berbeda.

Semuanya bergantung niat.

Saya kembali diingatkan tentang itu.

Ringan atau beratnya sesuatu untuk dilakukan atau tidak dilakukan bergantung seberapa kuat niat kita untuk melakukan atau tidak melakukannya. Bergantung pada seberapa kuat niat kita untuk memulai atau tidak memulainya kembali. Bergantung seberapa kuat niat kita untuk menjalankan apa yang kita niatkan.

Selalu terkesan dengan cara-Nya mengingatkan saya lewat hal-hal yang tidak terduga. Selalu ada jalan yang 'unik' untuk-Nya mengingatkan hamba-Nya.

Sesederhana saya menyadari hari ini bahwa ketika puasa diniatkan maka terasa ringan dan bila terlupa untuk diniatkan akan terasa berat.

Dan ternyata mungkin dari situlah Allah ingin mengingatkan saya tentang niat.

Bahwa ketika meniatkan untuk meninggalkan keburukan jangan setengah-setengah.

Bahwa ketika meniatkan untuk melakukan kebaikan pun jangan setengah-setengah.

Karena justru ke'setengah-setengah'an itulah yang seringkali membuat berat pelaksanaan. Seolah belum yakin tentang apa yang dilakukan sehingga sangat mungkin untuk terhenti di tengah jalan.


Yap. Kuncinya sudah ditemukan. Perbaiki, catat benar-benar dalam hati, kuatkan niat.