Sabtu, 30 September 2017

Perjalanan Yogyakarta-Jakarta-Surabaya: Hikmah#1 Kalah Cepat

Yogyakarta, 20 September 2017

Siang itu saya bergegas ke stasiun.

"Iskom, pulang Senin aja."
Hmm saya pun berpikir begitu. Terlalu melelahkan ketika Rabu dari Jogja, Kamis sampai Jakarta, Jumat ke Surabaya, Sabtu sampai Surabaya dan Ahad pagi kembali ke Jogja. Maka jadilah hari itu saya menukarkan tiket kepulangan Surabaya-Yogyakarta tanggal 24 September dengan 25 September.


*Berbagi sedikit tentang memundurkan/memajukan tiket. Datanglah ke customer service, nanti akan diberikan blangko permintaan penggantian jadwal kereta. Bilang atau isikan pada blangko mengenai perubahan-perubahan tersebut. Lalu pergi dari CS dan pergi ke loket untuk mencetak bukti bayar yang baru dan mendapatkan kode booking. Uang yang sudah dibayarkan saat pembelian tiket yang lalu akan terpotong 25%nya. Bayarkan kekurangan tersebut. Selesai. Jadwal keberangkatannya akan berganti sesuai jadwal keberangkatan yang baru :)


Hari itu di stasiun cukup ramai. Antrian CS tidak terlalu seramai antrian loket. Tidak berapa lama setelah mengambil nomor antrian, saya mengurus ke CS lalu diarahkan untuk mengambil antrian loket.

Antrian loket ternyata jauh lebih membutuhkan kesabaran dibanding antrian sebelumnya. Masih ada 80 nomor di depan yang harus ditunggu untuk menuju giliran. Karena orang di sebelah saya sepertinya tidak tertarik untuk berbincang, maka seperti biasa, saya pun lebih memilih untuk menggunakannya untuk membaca buku. Daripada waktu itu terbuang sia-sia.

Satu jam berlalu sudah.
Orang di sebelah saya berganti entah sudah keberapa kalinya. Kali ini seorang perempuan yang sepertinya lebih tua sedikit dari saya duduk di sebelah, memulai perbincangan. Saya tersenyum, menutupkan buku yang ada di tangan. Yaa perbincangan seputar hendak kemana dsb. Basa basi khas ala orang yang hendak bepergian. Orang yang ramah, pikir saya. Sebut saja namanya Mba Bunga. Mahasiswi di salah satu universitas swasta di Yogyakarta.

Tak lama kami berbincang, datang seorang perempuan yang sepertinya kisaran 30an tahun datang dan duduk di sebelah Mba Bunga. Terlihat kebingungan. Ibu itu adalah orang yang akan diperhatikan di keramaian karena dirinya 'berbeda' dari orang kebanyakan.

"Mau kemana, Bu?" Tanya Mba Bunga ramah.

Ibu yang terlihat ada keterbatasan fisik itu pun dengan agak terbata-bata menjelaskan,

"Saya mau ke Nganjuk Mba, mau pulang. Tapi saya ngga punya uang. Ini saya dari Tugu jalan ke sini. Tadi di sana saya bilang uang saya hilang malah diusir, disuruh minta-minta, padahal saya mau beli tiket tapi dompet saya hilang Mba. Gara-garanya tas saya dirobek oleh orang. Waktu saya liat lagi dompet saya udah ngga ada di tas, barang-barang saya juga."

Ibu itu membuka tas besarnya dan menunjukkan tas punggungnya yang dirobek.

Saya pun turut menyimak percakapan.

"Owalah, la terus Ibu ini mau gimana kesananya? Memang tiket kesana berapa harganya, Bu?"

"55ribu Mba. Tapi saya udah gapunya apa-apa Mba."

Mba Bunga berbisik ke saya dan mengatakan, kasihan.

Yap, saya pun merasa demikian. Kok ada yang tega-teganya merobek tas seorang ibu dengan keterbatasan, ya Allah.

Tapi tentu saja maraknya penipuan yang menimbulkan 'rasa kasihan' membuat saya tidak serta merta memberikan bantuan. Bukannya tidak percaya, tidak mau membantu, atau apa. Tapi menjadi orang polos dan memberi hanya berdasar kasihan sepertinya sudah tidak bisa diterapkan saat ini.

Saya pun menanyakan, " La Ibu ada KTP kah Bu? Kan kalau beli tiket kereta harus pake identitas Bu."

Si ibu terlihat ingin menangis, dengan susah payah ia berkata, " Gaada Mba, dompet saya seisi-isinya semuanya hilang Mba. Saya ngga ada KTP."

Duh Gusti. Di satu sisi saya ingin membantu, tapi di sisi lain saya tidak ada pegangan untuk memastikan benar tidaknya. Identitas pun tidak ada.

"Terus ibu mau kesananya gimana Bu? Kan kalo gaada KTP gabisa beli tiket."

"Tadi saya disuruh beli tiket ke Solo aja Mba. Terus dari Solo ke Nganjuk, saya disuruh naik bis."

Mba Bunga masuk dalam percakapan kami, "Ibu yakin nanti di Solo ibu ngga bingung gimana nyari busnya?"

"Yaa nanti disana tanya orang lagi Mba. Ya gimana, saya juga gatau apa-apa. Cuma bisa ngandalkan tanya orang."

Mba Bunga pun tersenyum dan merogoh dompetnya. Mengeluarkan selembar 10ribuan dan memberikannya ke Ibu itu.

"Yaudah, Bu. Ibu sekarang pergi ke loket, bilang beli tiket ke Solo sekarang. Saya yang bayarin."

Sang Ibu terlihat berkaca-kaca lalu bergegas ke loket untuk membeli tiket.

"Mba, katanya saya disuruh langsung masuk. Keretanya bentar lagi."

Ibu itu pun menunjukkan tiketnya. Sekitar 20-30 menit lagi.

Mba Bunga kembali mengeluarkan uang dari dompetnya. Selembar 50ribuan.

"Ibu, ini uang buat nge-bis ya Bu, jangan dipake buat yang lain-lain. Nanti kalo udah sampe Solo, tanya, kalo mau naik bis ke Nganjuk harus ke mana."

Sang Ibu hanya bisa berkaca-kaca sembari mengucap terima kasih. Lalu ibu itu bergegas masuk.

Saya yang tadinya pun berniat ingin membantu hanya terdiam. Masya Allah, kalah cepat dalam berbuat kebaikan itu rasanya... :')

"Ya Allah ada ya yang tega ngerobek tas Ibunya. Padahal ada keterbatasan. Kasian Ibunya," kata Mba Bunga pada saya.

Saya pun hanya menganggukkan kepala.

"Tadinya saya mikir ini Ibunya beneran ngga, tapi pas dirasa-rasa, didengerin ceritanya kayanya kok ngga bohong."

"Oiya Mba emang tiket bis Solo Nganjuk berapaan?"

"Oiya ya."

Kami pun mencari harganya di internet. Sekitar 45-50ribu.

"Ya semoga cukup ya uangnya. Dan semoga sampai sana nanti ada yang mau bantu Ibunya lagi."

Saya hanya bisa meng-aamiin-i.

Tepat setelah kejadian itu, nomor antrian saya dipanggil ke loket. Nyaris saja terlewat. Saya pun berpamitan ke Mba Bunga dan bergegas pulang karena harus mempersiapkan perjalanan sore itu ke Jakarta.

Dan siang itu, saya bersyukur. Mengantongi beberapa pembelajaran, belajar dari buku yang saya baca, dan belajar dari apa yang terjadi di sekitar saya.

Pembelajaran, hikmah, sebenarnya terserak di mana-mana. Maka dalam Al-Qur'an seringkali disebutkan, tidakkah kamu berpikir, tidakkah kamu mengamati, dan kata-kata penyadaran lainnya. Maka, berpikirlah. Latih kepekaan akan 'hal-hal kecil bernilai besar' di sekitar kita :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar