Selasa, 29 November 2016

Travel (Alone): Keraton Ngayogyakarta

Kubuka jendela kamar, melongok sejenak keadaan di luar. Cerah. Sayang bila hanya berdiam di asrama. Apalagi hari Minggu kemarin seharian kuhabiskan di asrama untuk membaca buku "30 Paspor di Kelas Sang Profesor" yang disusun J.S. Khairen, tidak ke mana-mana *buku ini menarik, recommended untuk dibaca :D*. Didasarkan oleh keinginan untuk keluar dan melawan rasa mager (males gerak), aku pun meniatkan untuk pergi. Lalu kapan pelaksanaan niatnya? Karena aku orang yang spontan dan seringkali random, tentu saja, saat itu juga. Ke mana? Hmm..masalah kemana belakangan aja deh, yang penting jalan dulu, pikirku.

 

Akhirnya aku bersiap. Kasur sudah rapi, lemari juga sudah rapi, kamar sudah disapu, dan sudah solat dhuha. Oke, siap berangkat. Eits, pinjam kamera dulu hehe. Yup, super ga modal. Aku sudah bertekad untuk memasang muka tebal dengan tidak mengindahkan siapapun yang mungkin akan memperhatikanku karena potret sana sini, dan sendirian haha. Habisnya mau bagaimana lagi, untuk fakultas lain, minggu ini masih masuk minggu UAS dan aku sudah selesai dengan UAS-ku. Maka dengan modal tas selempang yang berisi buku agenda, uang seadanya *tidak sampai sejumlah uang berwarna biru*, minum, hape, dan kamera *pinjam*, aku mulai menyusuri jalanan Jogja dengan menggunakan motorku. Panas menyengat di sepanjang Jalan Kaliurang aku nikmati saja. Ya, aku bukan orang yang bersusah-susah untuk melindungi diri dari sengatan matahari ataupun takut bila warna kulit menjadi lebih gelap. Biasa saja, warna kulit jadi lebih gelap yasudah, tak apa. Dinikmati saja, ga usah ribet :)
Sambil jalan, aku pun berpikir, hendak ke mana. Akhirnya kuputuskan untuk mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah kukunjungi selama 3 tahun berada di Jogja. Tiga tahun tapi belum ke mana-mana. Kegiatan kampus menuntutku untuk menjadikan kampus-asrama menjadi rutinitas rute harianku. Benteng Vredeburg menjadi tempat yang pertama ingin aku kunjungi. Di jalan aku sempat berpikir, bukannya hari Senin biasanya monumen dan benteng tutup ya? Tapi akhirnya perjalanan tetap aku lanjutkan.

Dan benar saja. Sesampainya di benteng, saat aku hendak memarkir motorku,
"Mba, mau ke mana?" tanya seorang bapak di dekat tempat parkir benteng.
"Ke benteng Pak," jawabku.
"Senin tutup mba."
"Oh iya? Matur nuwun infonya Pak."

Oke, sedikit kecewa karena destinasi utamaku tutup. Jadi aku harus ke mana? Aku memutar otak sambil memacu motorku ke arah utara. Aku pun masuk ke daerah Alun-alun Utara. Di sekitarnya ada dua bangunan bersejarah yang aku tahu; Keraton Ngayogyakarta dan Masjid Agung. Akhirnya kuputuskan untuk memacu motorku ke arah Keraton. Mungkin nanti aku akan ke masjid saat solat dzuhur.

Kuparkir motorku di tempat parkir yang disediakan untuk pengunjung yang hendak ke Keraton, tepatnya di sebelah barat pintu masuk Keraton.
Bapak parkir mendekat dan memberikan karcis.
"Berapa Pak?"
"3000," jawabnya.
"Mbaknya orang mana? Magelang?"
Sepertinya sang bapak melihat plat motorku.
Aku hanya bisa nyengir dan menjawab, " Bukan Pak, saya orang Kebumen, hehe."
Bapaknya terlihat ramah, pikirku. Maka aku yang sama sekali belum pernah ke Keraton pun memberanikan diri untuk bertanya beberapa hal.
"Kalo tiket/karcis buat masuk Keraton belinya di mana ya Pak?"
Sang bapak menunjuk ke arah timur dan menjelaskan. "Itu mba, di sana ada loket, kalau mau masuk Keraton bagian depan, beli karcisnya di situ. Kalau mau ke Keraton yang bagian belakang, mbaknya ke utara dulu ikutin jalan di barat itu, terus nanti ada loket buat masuk ke Keraton yang tempat tinggalnya Raja/Sultan. Oiya ada juga Museum Kereta di sini mba. Kalo tiket masuk Keraton yang depan 5.000, Museum Kereta 5.000, Keraton yang belakang 7.000."
Aku hanya ber ooh ria mendengar penjelasannya. Lalu aku pun tersenyum dan berterima kasih atas info yang sang bapak parkir berikan.

Aku selalu suka berbicara dengan orang-orang seperti beliau; bapak parkir, bapak becak, dan yang lainnya. Ada keramahan tersendiri yang membuatku betah untuk berbicara dengan orang-orang seperti itu :)

Tempat pertama yang kuputuskan untuk kukunjungi adalah Keraton bagian depan yang langsung menghadap ke Alun-alun Utara. Dengan membayar karcis seharga 5.000 dan izin foto seharga 2.000, aku bersiap dengan kameraku dan muka tebalku haha. Pokoknya ga peduli kalo diliatin, jalan mah jalan aja, tekadku.

Tepat setelah gerbang masuk

Untuk pertama kalinya, setelah sekian tahun di Jogja, akhirnya masuk ke keraton haha.
Dan nge-bolang pun dimulai *bolang=bocah petualang, bukan bocah ilang -__-*.
Aku sampai di bangunan pertama yang terlihat dari luar. Cukup banyak pengunjung tapi tidak terlalu ramai.
Hmm, berada di bangunan bersejarah seperti ini yang menyimpan banyak cerita, kurang lengkap rasanya bila tidak mengetahui latar belakang dan makna di balik segala yang ada di sini. Apalagi di Jawa yang segalanya penuh dengan filosofi. Sangat sayang bila hanya melihat dan berfoto tanpa tahu artinya.

Aku pun celingukan, melihat lihat sambil beberapa kali mengambil foto. Aku melihat beberapa pengunjung ditemani seorang seperti guide (entah itu abdi dalem atau bukan). Akhirnya aku beranikan diri untuk bertanya kepada seorang bapak dengan seragam batik yang sama dengan orang yang aku kira guide tadi.
"Pak nuwun sewu, mau tanya. Ini kalau misal mau minta diceritakan tentang Keraton harus pake guide atau gimana ya? Saya ingin tahu sejarahnya."
Sang bapak menoleh ke arahku, "Oh, bisa mba, bisa. Berapa orang Mba rombongannya?"
Setengah meringis aku menjawab, "Sendirian Pak hehe. Kalau pake guide gitu nambah biaya ngga ya Pak?"
Naluri mahasiswaku yang memang bermodalkan pas-pasan muncul. Ya mana saya bisa bayar kalo mahal, la wong uang awal jalan aja ga sampe sejumlah uang warna biru hahaha.
"Seikhlasnya Mba," ujar sang Bapak, "di sini ngga boleh pasang tarif Mba. Kalau dari saya ya seikhlasnya Mba saja."
Waduh berat nih, seikhlasnya.
"Kalo biasanya berapa Pak? Saya kan mahasiswa Pak, jadi mungkin ga bisa ngasih banyak. Nanti kalau seikhlasnya terlalu sedikit buat Bapak kan saya ngga enak juga Pak hehe," lebih baik jujur di depan, batinku.
Dan jawabannya benar-benar di luar dugaanku.
"La Mbak, namanya rezeki kan dah diatur. Kalau memang rezeki saya segitu dari nemenin Mba muter-muter Keraton ya memang rezeki saya segitu itu."
Nyess. Aku selalu kagum dengan orang-orang seperti Bapak ini. Selalu merasa cukup dan selalu bersyukur atas apa yang ia dapat.

Oke fix, akhirnya aku ditemani sang Bapak untuk menyusuri keraton dan sejarahnya. Bapak tersebut bercerita banyak. Yang aku sesalkan, karena aku membawa kamera dan sering mengambil gambar, jadi aku tidak sempat mencatat detail yang Bapak itu ceritakan *Maafkan aku Bapaak :') Apalagi saya bukan orang yang cepat hafal sejarah* (nb: setelah ini aku akan menuliskannya dengan panggilan Bapak saja agar lebih sederhana)

Bangunan pertama yang Bapak jelaskan adalah Bangsal Pagelaran. Seingatku (yaa, karena tidak dicatat jadi mengandalkan ingatan), di Bangsal Pagelaran sering dijadikan tempat untuk event-event Keraton. Ada Bangsal Pengapit di kanan dan kiri Bangsal Pagelaran.Awalnya tiang-tiang di sini terbuat dari kayu dan atapnya dari anyaman bambu. Tapi setelah dilakukan pemugaran oleh Sultan Hamengkubuwono VIII, dilakukan perbaikan di sana sini.  Di bangsal tersebut, terdapat tiang berjumlah penyangga berwarna hijau yang berjumlah 63. Ini menggambarkan umur Kanjeng Nabi (Rasulullah saw.) dalam hitungan tahun Masehi. Pada tiang tersebut juga terdapat bentuk bunga dan kaki gajah. Kata Bapak itu melambangkan kejawaen *dst..aku lupa penjelasannya panjang hehe*.

Tiang di keraton berjumlah 63. Bunga (warna merah) dan kaki gajah (di bawah bunga) melambangkan kejawen.

Lalu Bapak beralih ke bagian depan Keraton (nb: tadi itu pintu masuk tidak lewat gerbang utama yang menghadap alun-alun, tapi lewat timur. Pintu yang menghadap alun-alun ditutup). Di bagian depan, ada ornamen-ornamen di bagian dekat atap dari keraton.

Bagian depan Keraton yang menghadap Alun-alun Utara

Corak lebah dan biawak/ buaya itu dinamakan kalau tidak salah Suryasengkala. Surya itu matahari dan sengkala itu waktu atau masa. Untuk penjelasannya saya lupa. Nah, hasil tani seperti padi dan sebagainya melambangkan bahwa dahulu Jogja merupakan daerah yang gemah ripah loh jinawi, yang kaya raya dan makmur.

~Tulisan sebelum ini saya tulis pada 1 April 2016, jadi apabila ada ketidaknyambungan dengan tulisan setelah ini, harap dimaklumi karena ingatan saya akan memori beberapa bulan lalu sangat terbatas~

Candrasengkala hmm apakah itu? Aku pun lupa apa itu wkwk. Mungkin aku perlu berkunjung kembali ke keraton untuk merefresh kembali ingatanku sekaligus mengunjungi sudut-sudut yang belum sempat aku kunjungi.

Di dalam keraton dipajang pula busana-busana kerajaan yang pernah digunakan oleh berbagai jabatan dalam keraton. Terlalu banyak istilah yang disebutkan oleh Bapak. Membuatku yang hanya mengandalkan ingatan keteteran untuk mengingat segala penjelasannya.

Di bagian timur keraton, lebih barat dari pajangan busana keraton (agak ke tengah), terdapat sebuah tempat berbentuk segi empat yang kata sang Bapak merupakan tempat untuk melantik patih. Terdapat pula tempat sesajen di dekat tempat pelantikan tersebut.

Setelah mengamati bangunan kecil tempat patih dilantik, aku dan Bapak melanjutkan perjalanan kami lebih dalam ke keraton. Sebelum melanjutkan, aku sempat diberi tahu bahwa pohon yang berada di sekitar daerah kami berada melambangkan rukun iman.

Begitu masuk ke bagian yang lebih dalam, kami disambut dengan adanya tempat para algojo bersemayam di kanan dan kiri jalan. Sebuah bangunan kecil beratap di kanan dan kiri jalan cukup membuatku dapat membayangkan seperti apa para algojo itu duduk di bangunan tersebut.

Kami menaiki tangga untuk menelisik Keraton Yogyakarta lebih dalam lagi. Sebuah bangunan persegi tanpa tembok yang hanya terdiri dari tiang dan atap terlihat di pandanganku. Aku berdiri di bangunan tersebut. Tidak ada yang istimewa menurutku. Awalnya, itu yang aku pikirkan. Aku hanya berpikir bahwa itu adalah bangunan biasa yang diberi atap agar tidak kehujanan. Tetapi ternyata, di antara sekian banyak bagian keraton, bagian inilah yang paling membuatku tertarik.

Bangunannya sederhana. Hanya sekotak tempat dengan empat tiang penyangga dan atap yang melindungi dari hujan. Bangunan ini tepat menghadap ke utara, ke arah alun-alun Yogyakarta. Kata si Bapak, tempat ini digunakan sebagai tempat untuk memberi pengumuman. Bapak itu berkata bahwa dari bangunan itu, suara bisa bergema hingga terdengar di alun-alun Yogya. Awalnya aku tidak percaya. Tapi kemudian, sang Bapak mencoba menghentakkan kakinya untuk mempraktikkan. Benar saja, hentakkan kaki sang Bapak terdengar bergema cukup keras.
"Disini dulu tempat untuk ngasih pengumuman. Sama buat manggil gubernur dan patih dari daerah lain yang nunggu di luar pager keraton, Mba. Suaranya bisa kedengeran sampe ke alun-alun sana," ujar sang Bapak menjelaskan.
Aku masih terkagum-kagum dengan bangunan ini. Bangunan ini benar-benar bisa menggemakan suara. Padahal struktur bangunan ini begitu sederhana. Entah mekanisme akustika seperti apa yang bisa membuat suara dalam bangunan ini bergema hingga nun jauh di sana. Bila tamu-tamu tersebut datang, mereka akan berjalan jongkok dari alun-alun hingga melewati tangga untuk bisa sungkem kepada sang raja.

Sambil melihat ke arah pohon beringin di tengah alun-alun, sang Bapak bercerita.
Dulu itu pohon beringin dua sudah tua sekali. Sudah sejak zaman Kerajaan .... *entah Mataram entah Majapahit*. Tapi, beberapa tahun lalu pohonnya tersambar petir sehingga digantikan oleh pohon yang baru. Jadi yaa seperti itu, Mba. Pohon yang satu lebih besar dari pohon satunya.

Kemudian kami melanjutkan perjalanan kami. Di kanan dan kiri bangunan 'bergema' tersebut terdapat 2 set gamelan. Sebenarnya saking udah lamanya ini postingan sampai hampir berjamur gara-gara ga di post-post, aku lupa kapan gamelan itu dimainkan. Intinya, gamelan itu tidak boleh dimainkan sembarangan, hanya pada momen-momen tertentu saja gamelan itu boleh dimainkan.

Kami masuk lebih dalam pada bangunan keraton ini. Setelah melewati 'bangunan bergema', kita akan langsung dapat melihat sebuah tempat yang luas. Mungkin bisa dibilang seperti aula. Tempat tersebut merupakan tempat pelantikan raja atau sultan. Di tempat tersebut juga terdapat panggung. Bukan sebagai tempat hiburan, melainkan tempat untuk meletakkan pusaka-pusaka kerajaan.

Di kanan kiri bangunan luas di tengah ini, terdapat bangunan berdinding hijau. Awalnya, tempat tersebut merupakan tempat untuk menyimpan gamelan. Namun, dulu pada akhirnya digunakan oleh Universitas Gadjah Mada sebagai tempat berkuliah, jadi penyimpanan gamelan sudah tidak lagi di sana. Karena sekarang Universitas Gadjah Mada pun sudah tidak bertempat di keraton, maka tempat di kiri atau timur tempat pelantikan raja dan sultan berubah menjadi tempat untuk menonton film dokumenter mengenai keraton. Seperti obyek-obyek wisata bersejarah pada umumnya, keraton memiliki tempat khusus bagi para pengunjung untuk menonton film. Sedangkan bangunan hijau di kanan tempat pelantikan raja dan sultan menjadi tempat penyimpanan tombak. Sang Bapak mempersilakanku untuk menonton. Aku pun mengangguk dan beranjak masuk ke ruangan. Dingin. Ruangan ini ber-AC. Aku menonton bersama beberapa orang yang sudah sedari tadi berada di dalam ruangan. Beberapa orang terlihat sedang merekam film dokumenter yang diputarkan tersebut.
Sebentar menonton, aku jenuh. Aku adalah tipe orang yang lebih suka melakukan kegiatan outdoor, jalan-jalan dan panas-panasan daripada melakukan kegiatan duduk manis menonton film diputarkan. Aku pun beranjak ke luar.
Sang Bapak yang memang menunggu di luar terheran. Aku hanya bisa berkata, lebih suka jalan-jalan, Pak. Sang Bapak hanya mengangguk dan mengajakku melihat sisi lain bangunan hijau tersebut. Kami berjalan ke bangunan hijau di sebelah selatan yang masih menyambung dengan tempat menonton film dokumenter tadi

"Di sini dulu tempat kuliahnya mahasiswa UGM, Mba. Kalo sekarang yaa buat majang foto-foto macem-macem. Ada foto kereta kerajaan, ada foto gunungan juga."
Aku melihat-lihat sekilas. Menarik. Ada berbagai macam kereta kerajaan dan gunungan yang dipajang. Oh ya, di bagian barat keraton terdapat museum kereta juga bila memang tertarik untuk melihat kereta-kereta kerajaan yang asli. Tapi pastikan membawa guide. Karena tanpa guide, kereta tersebut hanya akan menjadi seonggok benda bisu tanpa cerita. Buat apa berkunjung ke museum dan tempat bersejarah bila pulang tanpa mengetahui cerita dibaliknya? :)

Selain foto kereta kerajaan dan gunungan, terdapat pula foto-foto sultan. Aku lupa apakah masih berada dalam satu bangunan atau tidak. Tapi dalam bayanganku, ini masih dalam bangunan hijau itu, hanya saja ruangannya bersebelahan. Foto-foto sultan menghiasi dinding bangunan ini. Sultan Hamengkubuwono I sampai III tidak memiliki foto yang berhasil diabadikan. Sultan Hamengkubuwono IV terlihat gagah berani dalam fotonya yang sedang menunggang kuda. Sultan Hamengkubuwono VII adalah satu-satunya sultan yang digantikan bukan karena beliau wafat, tetapi karena beliau sudah tidak kuat memegang pemerintahan. Beliau memiliki 21 istri dan 78 orang anak. Luar biasa sekali bukan? :)
Biasanya, seorang sultan digantikan ke sultan selanjutnya karena sultan sebelumnya wafat. Adapun pemilihan putra mahkota dilakukan melalui musyawarah kerajaan. Setahun setelah wafat, barulah sultan yang baru diangkat dan menggantikan sultan yang lama. Satu tahun kekosongan sebelum sultan yang baru diangkat adalah masa uji coba bagi calon sultan, apakah orang tersebut pantas menjadi sultan atau tidak. 

Setelah puas melihat dan menelaah sejarah para sultan, kami beranjak keluar dari bangunan hijau tersebut. di sebelah paling selatan dari keraton, terlihat anak tangga menurun. Kata Sang Bapak, itu adalah tangga menuju tempat tinggal sultan. Akan tetapi, gerbang tersebut ditutup. Jadi, pintu masuk ke keraton kalau tidak salah ada 2. Satu ke keraton yang saat ini sedang saya jelajahi dan pintu lainnya adalah pintu masuk ke keraton tempat tinggal sultan. Kata Bapaknya sih tempatnya jauh lebih luas. Aku yang belum pernah kesana hanya bisa ber-ooh ria dan beranjak menengok turun. Sang Bapak menunggu di atas. Sudah tua katanya, malas untuk naik turun tangga.
Benar saja, hanya ada sebuah gerbang besar yang tertutup di depanku. Mau tidak mau, aku naik lagi ke tempat sang Bapak menanti.

Setelah puas berputar-putar sendirian di keraton bersama sang Bapak, aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih pada sang Bapak. Apalagi aku adalah orang yang memang banyak bertanya bila memang penasaran dengan suatu hal. Dan aku datang kesini benar-benar karena rasa penasaran. Jadi yaa, hitung-hitung minta maaf ke Bapak tersebut karena terlalu banyak bertanya dan hanya bisa membayar seadanya sebagai mahasiswa :')

***
Di parkiran, Bapak Parkir sudah menunggu.
"Sudah, Mba, keliling-keliling keratonnya?" Tanyanya sambil tersenyum.
"Sudah, Pak," kataku sambil tersenyum sedikit nyengir khasku saat bertegur sapa dengan orang.
"Bagus lah, Mba. Mahasiswa mainnya ke tempat-tempat bersejarah kaya gini. Tugas kuliah kah Mba?"
"Hehe, ngga kok, Pak. Pengen ke Keraton aja. Masak kuliah sama tinggal di Yogya ngga pernah ke tempat bersejarahnya. Sekalian lagi pengen main, Pak."
"Oo tumben Mba, biasanya pada kesini buat tugas kuliah."
Aku hanya bisa nyengir dan berkata dalam hati.
Kayanya ga mungkin tugas kuliah anak FKG mempelajari sejarah keraton Yogyakarta wkwk
Aku pun beranjak pulang dan menyudahi perjalanan sendirian ini :)

***

Perjalanan baru selalu membawakanku cerita dan pelajaran hidup yang baru.
Bertemu orang yang begitu nerimo, belajar banyak tentang nilai-nilai di Yogyakarta, dan banyak pelajaran hidup lainnya.
Senang rasanya bisa berkunjung ke Keraton Yogyakarta dan mendengarkan secuil sejarahnya sebelum akhirnya harus meninggalkan kota ini setelah masa studi berakhir nanti.

Benteng Vredeburg menjadi destinasiku selanjutnya.
Entah kapan. Tapi yang pasti, aku akan mencoba menjelajah dan mengenali kota ini, sebelum akhirnya harus pergi :)

*foto-foto masih dalam tahap pencarian ada di mana karena tertumpuk dengan seabrek foto-foto lain saking udah lawasnya -__-

Little Journey: Venetie van Java #2

Karena terkadang pelajaran terbaik datang dari arah yang tak pernah kita sangka-sangka

Warna jingga di langit mulai menghilang, pertanda waktu maghrib akan segera berakhir. Aku menengok keluar jendela. Berusaha mencari plang-plang di pinggir jalan untuk mengetahui di mana bis ini berada sekarang. Satu demi satu kuamati, tapi belum ada satu pun yang menerangkan di mana bis ini berada sekarang. Usahaku tak berujung sia-sia. Semarang. Begitu yang tertulis di salah satu papan di antara sekian papan yang ada di pinggiran jalan yang sedang kulewati.

For the first time in forever~
Welcome to Semarang, guys! :D

"Banyumanik persiapan turun, Banyumanik!"

Aku yang diceritakan untuk turun di stasiun Banyumanik langsung beranjak dari dudukku. Menanyakan ke temanku, apakah di sini kami harus turun. Ternyata dia sedang membuka Google Map. Dan di situ digambarkan bahwa terminal yang kami tuju bukan terminal ini, tetapi terminal setelah ini: Terminal Sukun. Aku hanya bisa ber-ooh ria dan kembali duduk di tempat dudukku.

Selang beberapa menit kemudian, Barulah kami sampai di terminal tujuan, Terminal Sukun.
Aku yang tidak biasa bepergian bersama orang lain hanya bisa menatap bingung apa yang temanku lakukan. Bila bepergian sendiri, aku akan langsung bertanya pada orang di sekitar bagaimana cara sampai di tempat yang kutuju. Tapi kali ini lain, aku bersama temanku. Aku hanya bisa mengamatinya. Ia menengok dan berjalan kesana kemari tanpa mengomunikasikan apa yang sedang ia lakukan. Aku menengok jam tanganku. Sudah menjelang isya. Kemungkinan sholat maghrib dan isya-ku akan ku jamak ta'khir mengingat kondisi kami yang masih dalam perjalanan. Akhirnya aku bertanya pada temanku, akan mencari tempat sholat dulu atau melanjutkan perjalanan dulu baru sholat di tempat tujuan.
Tanpa banyak bicara temanku segera menghampiri angkot yang berhenti beberapa meter di depan kami.
Oh baiklah. Kurasa aku bisa menebak bahwa kami akan naik angkot dulu baru pergi ke tempat sholat.
"Pak, ini sampai patung kuda kan ya, Pak?"
"Iya."



Fiks. Kami menaiki angkot tersebut. Kukira perjalanan akan berlangsung lama. Ternyata beberapa menit kemudian kami telah sampai di Patung Kuda -atau beberapa anak menyebutnya Patung Dipo-. Setelah membayar 3000 rupiah per orang, kami bergegas menyeberangi jalan raya dan mengabari teman kami yang berkuliah di Undip.

Seseorang telah menunggu kami di seberang jalan, Dion.
"Diooooon."
Seperti biasa, aku selalu berteriak histeris saat melihat teman-temanku yang sudah lama tidak kutemui. Dion masih seperti biasa, kurus dan tinggi :p

Kami bertiga berbicara ngalor ngidul sambil menunggu kedua teman kami yang lain; yang 'katanya' akan datang menjemput. Duo yang tidak terpisahkan. Si artis kali ini, yaitu yang wisuda, Widy, dan teman sejatinya, Reza. Cukup lama kami menunggu, tapi tak apa, sambil ngobrol bersama teman-teman seperjuangan di PMR Wira Smansa Kebumen.

Tak lama kemudian, mereka berdua datang, dengan motor masing-masing. Sampai di tempat mereka cuma cengar cengir dan menyambut kami yang baru datang.
Bener-bener ga nyangka bakalan ditinggal lulus duluan sama ni bocah -__-
Yaa tapi apa daya, kudu ikhlas karena dia D3.

"Eh kita belum sholat, cari tempat sholat yoo."
"Sipp."

Akhirnya kami menuju ke daerah kampus Universitas Diponegoro. Cukup jauh juga ternyata dari Patung Kuda di depan tadi. Dan jalanan pun cukup macet. Tapi tak apa. Aku selalu menikmati tiap detik waktu yang kuhabiskan dalam perjalananku :)

Untuk pertama kalinya, hari ini aku menginjakkan kakiku di Semarang dan untuk pertama kalinya pula aku menginjakkan kakiku di sini, di Masjid Kampus Universitas Diponegoro. Setelah memarkir motor di halaman, kami beranjak ke tempat wudhu.
O baiklah. Aku perempuan sendiri di sini dan pasti tempat wudhuku berbeda dengan mereka semua.
"Wid, tempat wudhunya di mana?"
"Di sana," katanya sambil menunjuk ke arah timur dengan tidak jelasnya.
"Di mana??" Kataku sekali lagi meminta penjelasan.
Dia kembali menunjuk arah yang sama.
-___- baiklah, sepertinya aku harus mencari sendiri di mana tepatnya tempat wudhu itu berada. Arahan darinya terlalu tidak jelas.

Aku melangkah sendiri ke arah yang Widy tunjuk. Sampai di tempat yang ia tunjuk, terlihat banyak mahasiswa-mahasiswi Undip sedang berkumpul membentuk kelompok masing-masing. Halaman masjid terlihat ramai. Sepertinya banyak kegiatan yang mahasiswa-mahasiswi Undip lakukan di halaman masjid. Masjid ini terlihat begitu ramai dan.... hidup :)

Aku melanjutkan pencarianku
Jadi? dimana tempat wudhu?
Tadinya aku berniat untuk bertanya pada orang, tapi sepertinya mereka semua sibuk. Baiklaah~ aku akan mencarinya sendiri.
Di sebelah kiriku ada tempat wudhu. Inikah?
Aku sempat berpikir 2 kali sebelum masuk. Aku melongok ke dalam. Tidak ada orang.
Duh, harus bagaimana ini? gumamku. Di satu sisi aku tidak tahu itu tempat wudhu laki-laki atau perempuan. Tapi di sisi lain aku ingin bertanya bingung bertanya pada siapa karena semua terlihat sibuk berdiskusi.
Akhirnya kuputuskan untuk wudhu di tempat itu. Saat aku selesai, beberapa anak laki-laki hendak berwudhu.
Fiks! Salah tempat wudhu. Untunglah aku sudah selesai berwudhu. Aku segera beranjak dan mencari di mana perempuan sholat. Tidak peduli apa yang mereka pikirkan kenapa ada perempuan di tempat wudhu laki-laki.
Kesalahan keduaku adalah, aku tidak bertanya di mana tempat perempuan sholat -__-
Hmm, sepertinya di atas. Aku pun segera mencari tangga untuk naik.

Benar. Perempuan sholat di lantai 2. Di lantai ini terlihat banyak mahasiswi membuat kelompok-kelompok melingkar. Entahlah, sepertinya mereka mengaji atau sedang belajar kelompok. Karena sebagian terlihat ada membawa buku materi dan sebagian terlihat ada membawa Al-Qur'an.
Aku segera mengenakan mukena dan sholat pada tempat yang digelarkan sajadah. Setelah itu, aku turun dan bersegera untuk menemui teman-temanku.

Di jalan turun itu, aku menemkan apa yang aku cari tadi, tempat wudhu wanita. 
Oh baiklaaah, aku sudah terlanjur salah -__-
Aku kembali melewati kerumunan orang di halaman dan menuju ke tempat parkir motor. Di sisi timur dari tempat wudhu laki-laki tadi. Aku baru menemukan tulisan tersebut. Tempat wudhu laki-laki -__-

Sebelum beranjak dari masjid kampus, aku menghubungi temanku yang perempuan. Ternyata ia sedang mengerjakan tugas jadi tidak bisa menemani. Okay. Jadilah kami melanjutkan perjalanan tanpa menunggui temanku yang perempuan. Dan karena yang punya hajat temanku, jadi aku mengikuti mereka saja hendak kemana.

Kami sampai di tempat tujuan awal. Dann... sepertinya saya salah tempat -__-
Ini kontrakan cowo, bro -,-
Temanku yang lain beranjak ke dalam dan aku hanya di halaman depan. La masa iya aku masuk ke dalam (?)
Dion dan Amad menemaniku di luar. Sepertinya Widy hendak mengajak anak-anak kontrakan yang notabenenya anak-anak Kebumen untuk ikut makan bersama.

7 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Baiklaah -__-
Aku sudah terlalu lelah untuk mencari teman. Kami pun beranjak ke tempat makan yang berada tidak terlalu jauh (menurutku) dari kontrakan mereka. Tentu saja ukuran tidak terlalu jauh adalah bila ditempuh dengan menggunakan motor.
"Pesen apa nih?"
Satu per satu mulai menyebutkan pesanannya.
"Nasi goreng jawa aja," kataku
"Yaah, Kom, masa jauh-jauh ke Semarang makannya nasi goreng jawa?" kata Yulian
"Yaudah deeh. Manut kalian wes makan apa. Yang recommended opo wes?"
"Hmm nasi goreng padang sini enak."
"Yoo yoo. Manut aku."
Sebenarnya aku masih berpikir apa korelasinya dia melarang memesan nasi goreng jawa tapi menyarankan nasi goreng padang karena aku sudah jauh-jauh ke Semarang (?) Adakah hubungan antara nasi goreng padang dan Semarang (?) Entahlah. Itu masih menjadi misteri hingga saat ini.
Akhirnya setelah semua memesan, Widy beranjak mengantarkan daftar pesanan ke petugas di sana.

Sembari menunggu, kami bercerita banyak. Tentang kuliah kami masing-masing, tentang Widy yang wisuda, dan tentang Yulian yang ternyata sudah meraih gelar S1nya sebelum Widy dan sekarang ia sedang bersiap untuk co ass. Entahlah, terlalu banyak cerita yang terlewat ketika kita sudah lama tidak membersamai teman-teman kita. Bagiku yang senang mendengarkan cerita orang, momen seperti ini selalu menarik.

Makan dan berbagi cerita dengan teman. Sederhana, tapi entah kenapa bagiku sangat menyenangkan untuk dilakukan :)

Sebelum makan selesai, aku menghubungi teman perempuanku, Novi, untuk menanyakan di mana tempat tinggalnya di Semarang. Setelah mendapat arahan yang jelas dan makan pun telah selesai dilaksanakan, kami beranjak dari tempat kami masing-masing. Makan kali ini disponsori oleeh *jeng jeng jeng*...... Widyy *yeey* wkwk #alaymode
Ya hitung-hitung syukuran atas kelulusan. Toh habis ini mungkin akan sulit untuk bertemu dengan jumlah yang sebanyak ini. Hiks. Jadi sedih :'

Aku diantar oleh salah satu teman menuju tempat Novi. Untunglah tempatnya tak terlalu sulit dicari. Sebelum teman yang mengantar beranjak, aku tiba-tiba teringat sesuatu. Hadiah yang sudah kubungkus untuk artis hari ini belum kuberikan. Baiklah. Akhirnya kutitipkan saja kado itu pada si pengantar :3
Belum lama kami berada di luar, Novi menghampiri dari arah seberang tempat kami memberhentikan motor.

Waah entah kapan terakhir kali aku melihat Novi. Saat lulus SMA mungkin (?)
Setelah aku berterima kasih pada teman yang mengantarkan dan dia pulang, aku dan Novi beranjak ke dalam. Lama aku tidak melihat kos-kosan. Dua tahun terakhir aku tinggal di asrama, bersama ke 31 orang kawan. Setelah itu aku mengontrak bersama beberapa orang dari mereka. Jadi rindu kosan lama yang penuh dengan tempelan gambar-gambar di tiap sudutnya :')

Novi dan aku mengobrol banyak, tentang kuliah, tentang pengalaman hidup setelah SMA, dan tentang rencana apa yang akan kami lakukan esok hari. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat dan Novi kembali mengerjakan tugasnya.

Cerita hari itu memang berakhir di situ, tapi ada satu momen yang menyadarkanku.
Bila ada yang mengatakan,
Allah tidak menjadikan sesuatu terjadi tanpa arti,
Allah tidak akan mempertemukan kita dengan seseorang bila tidak untuk saling mempelajari dan menasihati,
maka aku mempercayainya.
Dipertemukan dengan teman lama,
Mendengarkan mereka berbagi cerita,
Dan melihat keseharian mereka
Membuatku tersadar.

Ada yang hilang dari diri, dari keseharianku.

Di saat aku masih terlihat terlelap, Novi beranjak. Menuju tempat wudhu dan mengerjakan sholat tahajjud.

Aku terdiam.

Allah selalu memiliki jalan untuk menegurku. Menegurku yang memang saat berangkat ke Semarang, berada dalam keadaan futur. Aku kembali teringat betapa tentramnya hati ketika bermunajat pada-Nya di sepertiga malam terakhir. Aku seolah tersadarkan, inilah yang hilang dariku. Inilah yang aku cari. Rasa selalu ada yang kurang akhir-akhir ini. Rasa was-was yang membuntuti. Mungkin karena aku mulai menjauh dari Ilahi. Aku hanya bisa termenung dan terdiam.

Selepas Novi selesai melaksanakan sholatnya. Aku pun beranjak dari tempat tidur. Bergegas menambil air wudhu. Tak sabar ingin bermunajat pada-Nya.

 ***

Ya, Allah selalu tahu.
Allah selalu tahu apa yang terbaik yang harus kulakukan.
Allah selalu tahu kemana kaki ini harus melangkah.
Allah selalu tahu, bahwa aku belajar lebih baik dari kisah dan teladan, bukan dari nasihat dan ceramah yang dilontarkan.

Dan mungkin kali ini, pergi ke Semarang, bertemu teman-teman SMA, dan bertemu Novi adalah salah satu cara-Nya untuk menyadarkanku.

Bahwa Ia masih peduli padaku :')

Minggu, 27 November 2016

Saat meng-iya-kan bermakna meng-ikhlas-kan
Saat meng-iya-kan bermakna mengubur dalam-dalam
Saat meng-iya-kan bermakna untuk berhenti mengharapkan
Dan saat meng-iya-kan 'bisa jadi' berubah makna menjadi melupakan

Akankah diri ini benar-benar bisa melakukan?

-hanya sekumpulan pertanyaan yang coba kuajukan pada diri sendiri-

Di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, 27 November 2016