Jumat, 30 Juni 2017

Tentang Sabar dan Syukur

Ada 3 cara bagi diri kita untuk merespon sesuatu yang kita anggap pahit dalam hidup:
1. menolak
2. bersabar
3. bersyukur.

Sabar ibarat sebuah pintu, dan syukur ibarat sebuah ruangan. Saat memasuki sebuah ruangan, apakah kita akan memperhatikan terlebih dahulu pintunya? Berlama-lama di depannya? Memperhatikan terbuat dari apa, bagaimana modelnya, bagaimana pegangan pintunya? Tentu tidak. Bahkan seringkali kita tidak merasa melewatinya.

Sama seperti sabar. Kita tidak perlu merasakannya dan mengatakan, 'aku sudah bersabar sejak lama'. Tidak perlu. Apakah enak terlalu banyak bersabar? Tidak kan?

Bersabar itu ada batasnya. Benar. Karena setelah itu habis, kita harus memasuki ruang syukur, bukan ruang mengeluh dan berputus asa.

Saat manis yang terjadi dalam hidup, bersyukur? Wajar. Saat pahit yang terjadi dalam hidup, bersabar atau bersyukur? Bersyukur.
Ya, bersyukur. Allah sedang memberi kesempatan untuk kita membuktikan, untuk kita bersungguh-sungguh menunjukkan. Bahwa dalam kepahitan, kita masih dapat bersyukur. Bahwa kita percaya, apa yang terjadi dalam hidup, Allah sudah memilihkan. Dan kita harus menjalaninya dengan syukur.

Janji Allah,
"Siapa saja hamba-Ku yang bersyukur sedikit saja atas nikmat-Ku, maka aku akan benar-benar menambahkan nikmat pada hamba-Ku tersebut."

Nikmat apa? Allah tidak menyebutkan nikmat yang mana. Allah hanya menyebutkan akan menambahkan nikmat. Ini berarti Allah tidak membatasi nikmat apa yang akan Ia beri.
Lihat, betapa Allah begitu sayang pada hamba-Nya. Kita hanya bersyukur sedikit, tetapi Allah bisa membalasnya jauuh di luar apa yang kita pikirkan, Ia tidak membatasinya.

Maka, dalam hidup, apapun yang terjadi, manis atau pahit, hanya ada satu pilihan untuk menyikapinya. Syukur.
Bersegeralah melewati pintu sabar dan memasuki ruang syukur :)

*Taujih Ustadz Syatori saat Yaumul Maal Qur'an di Masjid Nurul Islam, Yogyakarta
Dengan bahasa dan isi yang mungkin agak berbeda dari yang beliau sampaikan.

Masa Mau Menyalahkan Setan?

Ketika bulan dimana setan dibelenggu sudah berlalu, dimulailah bulan baru. Kembali fitri katanya. Senang, bertemu sanak saudara, kawan-kawan lama.

Tapi kemudian, ada yang justru seringkali terlupakan.

Kemanakah tilawah-tilawah bersemangat bulan lalu?
Kemanakah ziyadah-murojaah penuh perjuangan sebulan itu?
Kemanakah solat-solat malam dengan sujud panjang penuh harap akan dikabulkannya doa dan ampunan?
Tidak ingatkah hari-hari terakhir dimana kamu menangis berharap amalmu selama bulan itu diterima?
Tidak ingatkahhari-hari terakhir dimana kamu menangis sedih melihatnya baru akan kembali setelah melewati 11 bulan lagi?

Hari-hari terakhir di bulan itu, ketakutanmu memuncak.

Takut apa yang telah dikerjakan bulan itu tak dapat kamu istiqomahkan 11 bulan ke depan. Takut menjadi orang yang merugi atau bahkan celaka karena hari berikutnya lebih buruk dari hari sebelumnya, bulan berikutnya lebih buruk dari bulan sebelumnya. Takut ketika bertemu dengannya lagi, kamu hanya sanggup mencanangkan target tahun lalumu. Tak ada peningkatan.

Akan tetapi, justru saat memasuki bulan baru, kamu lupa akan segala ketakutan-ketakutanmu di bulan itu. Kamu lupa akan janji pada dirimu untuk mengistiqomahkan amalanmu. Kamu terlena dengan segala macam suasana dan hiruk pikuk bulan baru.

Apa itu yang kamu mau?
Ketika ditanya kenapa, apa iya kamu akan menjawab, "Saat bulan itu, setan dibelenggu, jadi saya bisa maksimal ibadah. Di bulan lain, setanlah yang mnejerumuskan saya hingga saya lalai akan ibadah-ibadah saya."

Dan kemudian timbul pertanyaan besar,
Apa iya itu salah setan?
Ah, bahkan mungkin setan pun tak salah. Dia bahkan telah mendapat ACC untuk menggoda manusia hingga akhir zaman. Maka dia berusaha semampunya untuk melaksanakannya.
Justru kamulah yang patut dipertanyakan. Harusnya kamu mampu melawan. Bukan malah menyalahkan. Ketika setan berusaha semampunya, kamu pun harus berusaha semampumu, sekuat yang kamu bisa untuk menangkal godaannya.

Ah, kamu, manusia selalu begitu. Lebih mudah melemparkan kesalahan daripada mengakuinya.

Masa iya semua ini salah setan?

Lalu apa yang harus kamu lakukan?
Kencangkan ikat pinggangmu. Seburuk-buruk keadaan, mari coba istiqomahkan apa yang telah dilakukan di bulan Ramadhan. Itu adalah seminimal-minimal upaya. Bedanya, kali ini ditambah dengan sedikit bumbu-bumbu godaan setan.
Mungkin akan terasa lebih berat. Tapi patut untuk diperjuangkan.

Yuk bangkit!

*hanya mencoba berdialog dengan diri sendiri*

Senin, 05 Juni 2017

Cerita tentang Seorang Teman

Setiap orang memiliki orang-orang istimewa dalam hidupnya. Setiap orang memiliki orang yang bisa mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Pun dengan saya. Allah begitu baik, bersedia mempertemukan saya dengan orang sepertinya. Dan saya belajar banyak hal dalam waktu yang bisa dibilang singkat ini. Mengubah banyak hal dalam diri saya lewat perantara nasihatnya.

Saya mengenalnya belum lama, masih dapat terhitung jari, bahkan hanya dengan satu tangan saja. Saya tak akan menyebutkan namanya. Cukuplah kebaikannya yang semoga bisa menginspirasi banyak orang.

Ia adalah orang yang begitu amanah menjalankan apa yang telah dipercayakan padanya. Terkadang, ia bercerita akan beratnya amanah yang ditanggungnya. Namun kemudian, ia masih menjalankannya semampunya, semaksimal yang ia bisa. Ketika kemudian amanah yang baru datang, pun sebenarnya ia berat. Saya mengetahui latar belakangnya dari apa yang ia ceritakan. Dan memang, bukan hal yang mudah untuk menerima amanah baru dalam kondisi yang demikian. Akan tetapi, ia tak mengkhianati kepercayaan orang-orang di sekitarnya. Ia mencoba menjalaninya dengan sebaik mungkin. Saya yakin, lelah pasti ia rasakan. Kadang ia berkata lelah saat bercerita pada saya, tapi ia tidak memperlihatkannya saat kembali menjalankan amanahnya, tetap mencoba bergerak dan tersenyum. Ia tidak ingin orang-orang di sekitarnya menjadi lelah karena lelah yang ia rasakan.

Saya yang saat itu juga sedang beramanah pun belajar banyak darinya. Bagaimana ia tidak mengeluh di depan teman-teman satu amanah. Bagaimana ia tetap menjalani padahal kondisinya jauh lebih rumit dari kondisi saya. Bagaimana ia mencoba menyatukan orang-orang dalam organisasinya. Bagaimana ia malah menyemangati saya, padahal ia yang lebih butuh untuk disemangati. Begitu banyak yang saya pelajari tentang bagaimana menyikapi suatu amanah.

Ia adalah orang yang begitu sayang dan disayang oleh keluarganya. Begitu seringnya orang tua menanyakan kabarnya dan tidak jarang pula ia memberi kabar pada orang tuanya.
Darinya, saya belajar untuk lebih memperhatikan keluarga saya. Sebelum ini, saya bukanlah orang yang sering mengabari orang tua ketika ada yang terjadi dalam hidup saya. Hanya hal-hal tertentu yang saya kabari. Orang tua saya cenderung membebaskan anaknya untuk memilih jalan hidupnya, tidak mengekang. Maka saya terbiasa tanpa memberi kabar. Tapi darinya, yang selalu memberi kabar ataupun ditanyai kabar oleh orang tuanya, saya belajar. Orang tua sebenarnya ingin tahu keadaan anaknya. Maka perlahan saya mulai sering mengabari orang tua saya, hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup saya, apa yang saya rasakan, dan sebagainya. Kini saya merasa bisa lebih terbuka untuk bercerita kepada kedua orang tua saya.

Ia adalah orang yang tak hentinya membuat saya belajar lewat cerita-ceritanya, lewat kesehariannya, dan lewat nasihat-nasihat yang ia berikan pada saya. Selalu memberi semangat ketika saya lelah, ketika saya malas, dan ketika saya tidak menjadi diri saya yang biasanya. Selalu mengingatkan bila salah, membuat saya tergerak untuk menghapus foto-foto saya di media sosial, lebih berhati-hati, dan mengisi media sosial dengan hal yang lebih manfaat. Selalu mengingatkan untuk mengingat-Nya, mengingatkan bahwa takdir-Nya adalah yang terbaik, mengingatkan bahwa semua punya waktunya masing-masing.

Saya bisa merasakan, ia mencoba mengubah dirinya menjadi lebih baik dari ia di masa lalu. Masa lalunya mungkin belum baik, tapi ia tidak hentinya berusaha mengubah dirinya menjadi lebih baik. Selalu tak henti belajar menjadi lebih baik, dan lebih baik lagi. Hal itulah yang membuat saya juga ingin mengubah diri saya menjadi lebih baik. Mencoba menambal saya yang kurang di masa lalu dan menjadikan diri saya lebih baik dari hari ke hari. Bila ia bisa, kenapa saya tidak? :)

Maka, untukmu, teman yang sudah begitu banyak mengubah diri saya dalam beberapa tahun ini, terima kasih banyak. Semoga Allah membalas kebaikanmu dengan kebaikan yang jauh lebih baik. Saya mungkin tidak bisa membantu banyak, tidak bisa menyemangati, tidak bisa menjadi teman yang selalu ada saat kamu membutuhkan orang untuk bercerita, dan tidak bisa melakukan banyak hal untukmu. Kita sudah menyepakati untuk menempuh jalan kita masing-masing. Bukan, bukan karena benci, tapi justru sebaliknya. Bukan berarti kita tidak lagi berteman, tapi kita sama-sama paham. Dan pada akhirnya, kita lebih memilih untuk mementingkan-Nya.

Pertemanan yang sejati bukanlah tentang seberapa sering kita berjumpa dan seberapa sering kita menghabiskan waktu bersama. Bagi saya, pertemanan yang sejati, yang hakiki, ialah tentang seberapa sering namanya terucap dalam doa yang diam, dalam tiap sujud yang panjang :)

Kamis, 01 Juni 2017

Ukhti, Inni Uhibbuki Fillah


Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari sahabat Anas bin Malik, beliau berkata:
Bahwasanya ada seorang sahabat yang sedang berada di sisi Nabi shāllallahu ‘alaihi wasallam, kemudian seseorang lewat di hadapan mereka. Lantas sahabat ini mengatakan: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku benar-benar mencintai orang ini”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata kepadanya: “Apakah engkau telah memberitahukan rasa cintamu kepadanya?” Ia berkata: “Belum.” Beliau berkata: “Jika demikian, pergilah dan beritahukan kepadanya”. Maka ia langsung menemui orang itu dan mengatakan “Inni uhibbuka fillah” (sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah), lalu orang tersebut menjawab: “Ahabbakalladzi ahbabtani lahu” (Semoga Allah mencintaimu, Dzat yang telah menjadikanmu mencintai aku karena-Nya)*
Ukhti, inni uhibbuki fillah. Dulu saya berpikiran, kok alay banget sih nyampe bilang gitu ke temen. Mbok yo biasa aja. Tapi qodarullah, saya diberi kesempatan untuk merasakannya. Saya diberi kesempatan untuk memutarbalik mindset bahwa kalimat itu tidaklah berlebihan. Saya benar-benar merasakan bagaimana kecintaan saya terhadap seseorang bisa tumbuh karena kecintaannya pada Allah, karena kecintaannya pada Al Quran.


Sebuah pertemuan singkat, hanya 3-4 hari bersama di sebuah forum bersama Al-Qur'an. Kami belum pernah dipertemukan sebelumnya. Tidak perlu disebutkan namanya, seorang yang pada akhir acara sebenarnya ingin saya salami sembari mengucapkan "inni uhibbuki fillah" tetapi tidak jadi saya laksanakan karena tidak pede seorang seperti saya yang jauh kalah sholihat dengan hafalan terbatas ini mengucapkannya. Padahal saya tahu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda agar kita menyampaikan rasa cinta kita pada saudara kita. Tapi ternyata melakukannya tidaklah mudah.

Maka saya hanya ingin menyampaikan apa yang beliau sampaikan ke orang-orang di sekitar saya agar apa yang telah beliau sampaikan tidak hanya berhenti pada saya, tapi terus menerus mengalir ke orang lain. Agar kata-kata yang tidak bisa saya sampaikan itu bisa terwujud dan mengalir kebaikannya dalam bentuk lain. Bukan dalam bentuk kata-kata yang disampaikan langsung, tetapi semoga bisa menjadi kebaikan jariyah untuk beliau atas ilmu bermanfaat yang telah beliau berikan yang coba saya sampaikan lewat tulisan ini.

Awalnya saya agak kaget ketika melihat kakak itu karena mirip dengan seseorang yang saya tahu (bukan kenal) dan sebenarnya ingin saya kenal, hanya saja belum diberi kesempatan bertemu hingga saat ini. Qodarullah saya dipertemukan dengan orang yang wajahnya mirip dengannya.
Penampilan beliau sederhana. Tetapi, saya merasakan bahwa ilmu yang beliau punya tidak sesederhana penampilannya. Apa-apa yang beliau katakan ada manfaatnya. Apa-apa yang beliau katakan adalah nasihat. Apa-apa yang beliau katakan bisa sampai ke hati walaupun beliau menyampaikan apa yang sudah biasa disampaikan.

Mungkin inilah cara Allah mengingatkan saya untuk mendekat pada-Nya, untuk menumbuhkan kembali semangat berinteraksi dengan Al-Qur'an. Lewat tauladan, lewat yang nyata. Allah berbaik hati mempertemukan saya dengan kakak yang satu ini. Walaupun tidak banyak berinteraksi, saya bisa merasakan akhlak Quran dalam dirinya. Beliau menyampaikan nasihatnya dengan tidak kaku, diselingi dengan candaan. Tapi candaan-candaannya adalah candaan yang tidak keluar dari batas-batas yang Rasul tentukan; tidak berbohong, tidak berlebihan. Membuat saya tertarik pada pribadinya.

"Ada yang sudah satu juz?" Begitu katanya. Tidak ada di antara kami yang mengangkat tangan. "Masya Allah, zuhud semua ya." Kami hanya bisa tersenyum menahan tawa.

Ada pula saat beliau menjadi moderator dan panitia membawakan minum air putih dalam gelas, beliau berujar, "Masya Allah panitianya zuhud sekali kepada pembicara." Kami yang mendengarnya tertawa. Saat beliau mulai minum, beliau menemukan sesuatu dalam gelasnya. Rumput. "Masya Allah, saking zuhudnya sampai ada rumput di airnya." Kami yang mendengar itu tertawa kembali.

Candaan-candaan beliau simpel, tidak berlebihan, yang cukup untuk memecah suasana.

Saya sangat kagum dengan beliau. Bila diberi kesempatan, beliau selalu menyampaikan satu dua kalimat, yang entah kenapa selalu bisa membuat saya merenung.

"Saat ditanya, tidak perlu kita sebutkan ke orang lain berapa banyak hafalan kita. Cukup kita dan Allah yang tahu. Yang orang lain perlu rasakan adalah bagaimana ayat-ayat-Nya yang telah kita hafalkan tercermin dari akhlak kita. Bagaimana mereka dapat melihat dan merasakan akhlak Quran dalam keseharian kita."

Ada saat dimana kami menanyakan tentang sulitnya menghafal Quran dan beliau menjawab,

"Bila diumpamakan hafalan quran adalah rezeki, maka Allah sudah mengatur hafalan kita. Tapi ingat, rezeki harus dijemput, diupayakan. Tidak hanya dengan berpangku tangan dan bermimpi saya ingin menjadi penghafal Quran tanpa ada usaha untuk mencapainya.

Tingkatan seseorang bukan dari banyaknya hafalan yang ia punya. Tetapi dari keberkahannya saat berinteraksi dengan Al Quran.
Ada orang yang mudah menghafal. Sekali baca, dua kali baca, sudah hafal. Tapi ada orang yang 10, 20, hingga berkali2 dibaca, belum tentu hafal."

Lalu beliau berkata kembali,
"Yang mana yang lebih tinggi tingkatannya?
Mungkin secara kasat mata lebih tinggi yang banyak hafalannya. Tapi, tidak pasti yang lebih banyak hafalannya lebih tinggi tingkatannya dari yang sedikit hafalannya.
Bila dimisalkan tangga, penghafal Quran ibarat sedang meniti anak tangganya. Yang menghafalnya mudah, ia akan dengan mudahnya naik ke satu tingkat di atas. Bila sudah puas dengan itu, ia berada di tingkatan tersebut. Yang menghafalnya susah, bisa jadi setiap kali dia mencoba menghafalkan, tidak hafal, lalu ia bersabar dan mengulang hafalannya lagi, maka ia dinaikkan satu tingkat. Setiap kali bersabar atas ketidakhafalannya dan mengulang, dinaikkan satu tingkat. Bisa jadi yang mudah menghafal naik satu tingkat, yang sulit naik bertingkat-tingkat walaupun yang dihafalkan hanya sedikit.

Intinya, tiap orang memiliki ujiannya masing-masing. Yang mudah menghafal, ujiannya adalah bagaimana agar dia tidak cepat merasa cukup dengan hafalannya lalu tak berhenti hanya menghafal saja tapi memahami isi dan tafsirnya, bagaimana keistiqomahan memurojaahnya, bagaimana ia menjaga hatinya agar tidak ujub atas apa yang Allah karuniakan kepadanya. Jangan sampai Al Quran itu hanya ada pada lisan kita dan tidak ada pada hati-hati kita.

Yang susah menghafal, ujiannya adalah bagaimana ia bersabar dengan proses panjang menghafalnya, bagaimana ia istiqomah ziyadah satu ayat demi satu ayat, sepotong demi sepotong, tanpa kenal lelah, bagaimana ia menahan diri dari berkeluh kesah tentang kesulitannya kepada selain-Nya, bagaimana ia bisa bersyukur atas ayat yang telah ia hafal walaupun sedikit.
Kan Allah sudah berfirman, belum dikatakan seorang beriman, hingga ia diuji. Pun dalam proses menghafal Quran."

"Yang terpenting dari menghafal Al-Quran adalah istiqomah. Seberapa sulit, seberapa lelah, seberapa kita tidak kunjung hafal, tetap lakukan, tetap berusaha. Allah tidak melihat seberapa banyak hafalan kita. Akan tetapi, Allah menilai proses kita dalam menghafal. Dalam mendekatkan diri pada-Nya. Buktikan ke Allah bahwa kita sungguh-sungguh. Buktikan ke Allah bahwa kita benar-benar ingin mendekat pada-Nya. Sedikit banyak yang didapat, biar Allah yang menentukan rezeki hafalan kita. Yang terpenting adalah bagaimana kita mengikhtiarkannya."

Beliau juga bercerita betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mencintai ummat-Nya.

"Pada hari akhir nanti, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan berdiri di tepi telaga Kautsar. Menanti umatnya datang untuk memberikan air dari telaga itu untuk mereka. Ketika ada segolongan umatnya yang mendekat, beliau berwajah ceria. Memanggil mereka untuk kian mendekat. Tapi di jalan,malaikat menghadang mereka untuk mendekat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, mengapa malaikat menghadang. Malaikat menjawab bahwa umatmu telah melalaikan Al Quran. Dan seketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwajah mendung.
Bayangkan! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menanti kita di tepian telaga Kautsar dengan wajah yang berseri-seri. Di tiap sholat, di tiap doa, di tiap detik hidupnya, bahkan hingga menjelang ajalnya, beliau selalu teringat akan ummatnya. Ummati, ummati, ummati. Lalu apakah kita sebagai umatnya tega membuat beliau berwajah mendung ketika ternyata kita tidak dapat menghampiri beliau di tepian telaga Kautsar? Beliau yang telah sangaat merindukan kita sebagai ummatnya. 
Seorang Rasul, yang mulia, menunggui kita, ummatnya, yang hanya manusia biasa ini. Kita yang bahkan antara teringat dan tidak akan namanya di tiap solat kita, tiap doa kita, dan tiap waktu kita.
Rasulullah senantiasa rindu berjumpa dengan ummatnya yang bahkan belum pernah beliau jumpai. Mendoakan kita yang bahkan belum pernah ia jumpai. Mengkhawatirkan kita yang bahkan belum pernah beliau jumpai.
Maka apakah kita masih tega membuat beliau berwajah mendung di tepian telaga itu?"

Di hari terakhir, beliau menyampaikan,
"Dalam doa khotmil Quran, disampaikan "Warzuqna tilawatahu aana allaili wa athro fannahar". Berilah kami rezeki tilawah al quran siang dan malam.

Tilawah Al Quran disitu disebut rezeki. Ya, rezeki. Kenikmatan tilawah, kenikmatan menghafal, susah senang, lelah bangkit dalam melaksanakannya adalah kenikmatan yang tidak semua orang dapat merasakannya. Itu hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang Allah ingin ia mendekat pada-Nya. Bukan pada sembarang orang.

Maka yang bisa tilawah Al Quran pada siang hari, pada malam hari, bersyukurlah. Yang merasa ada yang kurang bila hari itu belum tilawah, belum berinteraksi dengan Al Quran, bersyukurlah. Bila kita termasuk salah satu diantara yang bisa merasakan kenikmatan itu, bersuyukurlah. Bersyukurlah, maka Allah akan tambahkan nikmat-Nya bagi hamba-Nya yang bersyukur."

Terkadang Allah menunda sesuatu karena Ia ingin memberikan kita sesuatu yang lebih baik :)
Saat saya menceritakan cerita ini ke seorang teman, ia berkata, "Masya Allah Ti, beruntung kamu bisa ikut acara itu. Walaupun waktumu ngerjain skripsi kepotong, walaupun belum jadi semprop, tapi kamu dapet kesempatan yang ndak semua orang dapet, termasuk aku."

Mungkin Allah sedang ingin saya mendekat dulu pada-Nya baru membolehkan saya untuk mengerjakan urusan yang lain. Mungkin selama ini saya terlalu disibukkan dengan urusan dunia hingga lupa, bahwa ada Ia yang pencemburu dan ingin hamba-Nya selalu mendekat pada-Nya, selalu mengingat-Nya, selalu menomorsatukannya. Allah selalu memliki cara yang begitu tidak terduga untuk mengingatkan kita untuk kembali pada-Nya.

Terima kasih Kak, telah menjadi jalan untuk saya kembali mengingat-Nya kali ini. Jazaakillaahu khairan katsiiran. Semoga Allah membalas kebaikan kakak dengan balasan yang jauuh lebih baik :)