Senin, 29 Desember 2014

Manisnya Iman :)

Manisnya iman. Mungkin dalam hati kita bertanya, bagaimanakah yang disebut dengan manisnya iman. Manisnya iman akan membuat kita merasakan nikmat dalam ketaatan dan nikmat dalam menanggung beban. Sangat berat bukan? Bagaimana bisa menanggung beban dirasa nikmat?
Namun ternyata, jawaban dari semua itu hanyalah satu, cinta. Ketika mencintai sesuatu, kita akan menjalankannya dengan ikhlas. Rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya lah yang perlu kita tumbuhkan bila kita ingin merasakan manisnya iman. Cinta akan menghasilkan sikap ridho. Inilah yang akan melahirkan kenikmatan dalam ketaatan dan kenikmatan dalam menanggung beban.  Ketika kita merasakan nikmatnya ketaatan, maka kita akan merasakan nikmatnya beribadah kepada-Nya. Ketika kita merasakan nikmatnya menanggung beban, maka kita akan merasakan nikmat dalam menanggung amanah yang diberikan pada kita. Seberapapun amanah yang diembah oleh kita akan kita selesaikan dengan sebaik-baiknya. Namun, bila kita masih merasa berat untuk beribadah dan lelah menerima segala macam amanah, maka mungkin kita belum termasuk orang-orang yang dapat merasakan manisnya iman. Bisa jadi kita belum termasuk orang-orang yang mencintai Allah dan rasul-Nya dengan sepenuh hati. Memang bukan hal yang mudah untuk menumbuhkan rasa cinta itu. Rasa dimana jalan dakwah yang susah menjadi indah. Rasa dimana kecintaan pada Allah lebih ia sukai daripada dunia. Akan tetapi, bukan hal yang mustahil untuk menumbuhkan rasa cinta itu. Yang harus kita lakukan adalah menjaga kualitas iman kita. Kita harus cepat sadar ketika keimanan dalam diri kita menurun. Segera perbaiki amalan dan niatan kita untuk Allah. Tetaplah jaga rasa cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena dengan itulah ketaatan pada-Nya dan menanggung beban akan terasa nikmat. Karena dengan cinta itulah manisnya iman akan terasa nyata. 

Kajian Islam Pekanan
Yogyakarta, 12 November 2014

Bahaya Lisan

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah Ia berkata baik atau diam.”
Begitulah bunyi sepotong hadis yang sudah akrab di telinga kita. Berkata baik atau diam. Sederhana, hanya berbicara menegenai menjaga lisan, tetapi kebanyakan orang masih sulit untuk mengerjakannya. Bahkan ada pula perkataan bahwa tiada akan lurus seorang hamba sebelum lurus hatinya dan tiada akan lurus hatinya sehingga lurus pula lisannya. Begitu hebat lisan berpengaruh dalam diri dan kehidupan kita. Hingga kita sadari atau tidak, terlalu banyak yang sia-sia lisan kita lakukan; ucapan yang tidak berguna, berbicara berlebihan tanpa diimbangi dzikir, ungkapan yang mendekati kebatilan dan maksiat, debat kusir, berlebih-lebihan dalam menuntut haknya, bersenda gurau, ucapan yang menyakitkan, melaknat, bernyanyi dan bersyair, berfasih-fasih dalam berbicara untuk mencari perhatian orang, membocorkan rahasia, berdusta dalam perkataan, janji, dan sumpah, membicarakan orang lain, sanjungan yang menjerumuskan, menceritakan aib orang, serta bertanya yang memberatkan untuk yang menjawab.
Lalu, bagaimanakah kita dapat menjaga diri kita dari segala kesia-siaan lisan tersebut? Caranya sederhana saja, cukup jaga lisan kita dari kata-kata yang tidak baik dan menjaga mulut kita agar tidak dimasuki makanan yang haram. Kata-kata menjaga lisan sudah sering kita dengar. Akan tetapi, sudahkah kita mengamalkannya? Sudahkah kita menjadi satu dari segelintir orang yang mampu memelihara tetangganya dari lisan kita? Perubahan mungkin tidak bisa langsung terjadi secara instan. Mungkin kita dapat memulainya dengan hal-hal yang kita bisa; mengurangi bercanda yang tidak perlu, berbicara seperlunya, memikirkan baik-baik sebelum mengkritik atau memuji orang. Sederhana bukan? Mari kita terapkan. Perlahan tapi pasti. berubah sedikit daripada tidak sama sekali. Dan mulailah dari sekarang, karena perubahan tidak akan terjadi jika tidak ada yang memulai untuk melakukan.

Kajian Islam Pekanan
Yogyakarta, 8 Desember 2014