Kamis, 01 Juni 2017

Ukhti, Inni Uhibbuki Fillah


Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari sahabat Anas bin Malik, beliau berkata:
Bahwasanya ada seorang sahabat yang sedang berada di sisi Nabi shāllallahu ‘alaihi wasallam, kemudian seseorang lewat di hadapan mereka. Lantas sahabat ini mengatakan: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku benar-benar mencintai orang ini”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata kepadanya: “Apakah engkau telah memberitahukan rasa cintamu kepadanya?” Ia berkata: “Belum.” Beliau berkata: “Jika demikian, pergilah dan beritahukan kepadanya”. Maka ia langsung menemui orang itu dan mengatakan “Inni uhibbuka fillah” (sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah), lalu orang tersebut menjawab: “Ahabbakalladzi ahbabtani lahu” (Semoga Allah mencintaimu, Dzat yang telah menjadikanmu mencintai aku karena-Nya)*
Ukhti, inni uhibbuki fillah. Dulu saya berpikiran, kok alay banget sih nyampe bilang gitu ke temen. Mbok yo biasa aja. Tapi qodarullah, saya diberi kesempatan untuk merasakannya. Saya diberi kesempatan untuk memutarbalik mindset bahwa kalimat itu tidaklah berlebihan. Saya benar-benar merasakan bagaimana kecintaan saya terhadap seseorang bisa tumbuh karena kecintaannya pada Allah, karena kecintaannya pada Al Quran.


Sebuah pertemuan singkat, hanya 3-4 hari bersama di sebuah forum bersama Al-Qur'an. Kami belum pernah dipertemukan sebelumnya. Tidak perlu disebutkan namanya, seorang yang pada akhir acara sebenarnya ingin saya salami sembari mengucapkan "inni uhibbuki fillah" tetapi tidak jadi saya laksanakan karena tidak pede seorang seperti saya yang jauh kalah sholihat dengan hafalan terbatas ini mengucapkannya. Padahal saya tahu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda agar kita menyampaikan rasa cinta kita pada saudara kita. Tapi ternyata melakukannya tidaklah mudah.

Maka saya hanya ingin menyampaikan apa yang beliau sampaikan ke orang-orang di sekitar saya agar apa yang telah beliau sampaikan tidak hanya berhenti pada saya, tapi terus menerus mengalir ke orang lain. Agar kata-kata yang tidak bisa saya sampaikan itu bisa terwujud dan mengalir kebaikannya dalam bentuk lain. Bukan dalam bentuk kata-kata yang disampaikan langsung, tetapi semoga bisa menjadi kebaikan jariyah untuk beliau atas ilmu bermanfaat yang telah beliau berikan yang coba saya sampaikan lewat tulisan ini.

Awalnya saya agak kaget ketika melihat kakak itu karena mirip dengan seseorang yang saya tahu (bukan kenal) dan sebenarnya ingin saya kenal, hanya saja belum diberi kesempatan bertemu hingga saat ini. Qodarullah saya dipertemukan dengan orang yang wajahnya mirip dengannya.
Penampilan beliau sederhana. Tetapi, saya merasakan bahwa ilmu yang beliau punya tidak sesederhana penampilannya. Apa-apa yang beliau katakan ada manfaatnya. Apa-apa yang beliau katakan adalah nasihat. Apa-apa yang beliau katakan bisa sampai ke hati walaupun beliau menyampaikan apa yang sudah biasa disampaikan.

Mungkin inilah cara Allah mengingatkan saya untuk mendekat pada-Nya, untuk menumbuhkan kembali semangat berinteraksi dengan Al-Qur'an. Lewat tauladan, lewat yang nyata. Allah berbaik hati mempertemukan saya dengan kakak yang satu ini. Walaupun tidak banyak berinteraksi, saya bisa merasakan akhlak Quran dalam dirinya. Beliau menyampaikan nasihatnya dengan tidak kaku, diselingi dengan candaan. Tapi candaan-candaannya adalah candaan yang tidak keluar dari batas-batas yang Rasul tentukan; tidak berbohong, tidak berlebihan. Membuat saya tertarik pada pribadinya.

"Ada yang sudah satu juz?" Begitu katanya. Tidak ada di antara kami yang mengangkat tangan. "Masya Allah, zuhud semua ya." Kami hanya bisa tersenyum menahan tawa.

Ada pula saat beliau menjadi moderator dan panitia membawakan minum air putih dalam gelas, beliau berujar, "Masya Allah panitianya zuhud sekali kepada pembicara." Kami yang mendengarnya tertawa. Saat beliau mulai minum, beliau menemukan sesuatu dalam gelasnya. Rumput. "Masya Allah, saking zuhudnya sampai ada rumput di airnya." Kami yang mendengar itu tertawa kembali.

Candaan-candaan beliau simpel, tidak berlebihan, yang cukup untuk memecah suasana.

Saya sangat kagum dengan beliau. Bila diberi kesempatan, beliau selalu menyampaikan satu dua kalimat, yang entah kenapa selalu bisa membuat saya merenung.

"Saat ditanya, tidak perlu kita sebutkan ke orang lain berapa banyak hafalan kita. Cukup kita dan Allah yang tahu. Yang orang lain perlu rasakan adalah bagaimana ayat-ayat-Nya yang telah kita hafalkan tercermin dari akhlak kita. Bagaimana mereka dapat melihat dan merasakan akhlak Quran dalam keseharian kita."

Ada saat dimana kami menanyakan tentang sulitnya menghafal Quran dan beliau menjawab,

"Bila diumpamakan hafalan quran adalah rezeki, maka Allah sudah mengatur hafalan kita. Tapi ingat, rezeki harus dijemput, diupayakan. Tidak hanya dengan berpangku tangan dan bermimpi saya ingin menjadi penghafal Quran tanpa ada usaha untuk mencapainya.

Tingkatan seseorang bukan dari banyaknya hafalan yang ia punya. Tetapi dari keberkahannya saat berinteraksi dengan Al Quran.
Ada orang yang mudah menghafal. Sekali baca, dua kali baca, sudah hafal. Tapi ada orang yang 10, 20, hingga berkali2 dibaca, belum tentu hafal."

Lalu beliau berkata kembali,
"Yang mana yang lebih tinggi tingkatannya?
Mungkin secara kasat mata lebih tinggi yang banyak hafalannya. Tapi, tidak pasti yang lebih banyak hafalannya lebih tinggi tingkatannya dari yang sedikit hafalannya.
Bila dimisalkan tangga, penghafal Quran ibarat sedang meniti anak tangganya. Yang menghafalnya mudah, ia akan dengan mudahnya naik ke satu tingkat di atas. Bila sudah puas dengan itu, ia berada di tingkatan tersebut. Yang menghafalnya susah, bisa jadi setiap kali dia mencoba menghafalkan, tidak hafal, lalu ia bersabar dan mengulang hafalannya lagi, maka ia dinaikkan satu tingkat. Setiap kali bersabar atas ketidakhafalannya dan mengulang, dinaikkan satu tingkat. Bisa jadi yang mudah menghafal naik satu tingkat, yang sulit naik bertingkat-tingkat walaupun yang dihafalkan hanya sedikit.

Intinya, tiap orang memiliki ujiannya masing-masing. Yang mudah menghafal, ujiannya adalah bagaimana agar dia tidak cepat merasa cukup dengan hafalannya lalu tak berhenti hanya menghafal saja tapi memahami isi dan tafsirnya, bagaimana keistiqomahan memurojaahnya, bagaimana ia menjaga hatinya agar tidak ujub atas apa yang Allah karuniakan kepadanya. Jangan sampai Al Quran itu hanya ada pada lisan kita dan tidak ada pada hati-hati kita.

Yang susah menghafal, ujiannya adalah bagaimana ia bersabar dengan proses panjang menghafalnya, bagaimana ia istiqomah ziyadah satu ayat demi satu ayat, sepotong demi sepotong, tanpa kenal lelah, bagaimana ia menahan diri dari berkeluh kesah tentang kesulitannya kepada selain-Nya, bagaimana ia bisa bersyukur atas ayat yang telah ia hafal walaupun sedikit.
Kan Allah sudah berfirman, belum dikatakan seorang beriman, hingga ia diuji. Pun dalam proses menghafal Quran."

"Yang terpenting dari menghafal Al-Quran adalah istiqomah. Seberapa sulit, seberapa lelah, seberapa kita tidak kunjung hafal, tetap lakukan, tetap berusaha. Allah tidak melihat seberapa banyak hafalan kita. Akan tetapi, Allah menilai proses kita dalam menghafal. Dalam mendekatkan diri pada-Nya. Buktikan ke Allah bahwa kita sungguh-sungguh. Buktikan ke Allah bahwa kita benar-benar ingin mendekat pada-Nya. Sedikit banyak yang didapat, biar Allah yang menentukan rezeki hafalan kita. Yang terpenting adalah bagaimana kita mengikhtiarkannya."

Beliau juga bercerita betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mencintai ummat-Nya.

"Pada hari akhir nanti, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan berdiri di tepi telaga Kautsar. Menanti umatnya datang untuk memberikan air dari telaga itu untuk mereka. Ketika ada segolongan umatnya yang mendekat, beliau berwajah ceria. Memanggil mereka untuk kian mendekat. Tapi di jalan,malaikat menghadang mereka untuk mendekat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, mengapa malaikat menghadang. Malaikat menjawab bahwa umatmu telah melalaikan Al Quran. Dan seketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwajah mendung.
Bayangkan! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menanti kita di tepian telaga Kautsar dengan wajah yang berseri-seri. Di tiap sholat, di tiap doa, di tiap detik hidupnya, bahkan hingga menjelang ajalnya, beliau selalu teringat akan ummatnya. Ummati, ummati, ummati. Lalu apakah kita sebagai umatnya tega membuat beliau berwajah mendung ketika ternyata kita tidak dapat menghampiri beliau di tepian telaga Kautsar? Beliau yang telah sangaat merindukan kita sebagai ummatnya. 
Seorang Rasul, yang mulia, menunggui kita, ummatnya, yang hanya manusia biasa ini. Kita yang bahkan antara teringat dan tidak akan namanya di tiap solat kita, tiap doa kita, dan tiap waktu kita.
Rasulullah senantiasa rindu berjumpa dengan ummatnya yang bahkan belum pernah beliau jumpai. Mendoakan kita yang bahkan belum pernah ia jumpai. Mengkhawatirkan kita yang bahkan belum pernah beliau jumpai.
Maka apakah kita masih tega membuat beliau berwajah mendung di tepian telaga itu?"

Di hari terakhir, beliau menyampaikan,
"Dalam doa khotmil Quran, disampaikan "Warzuqna tilawatahu aana allaili wa athro fannahar". Berilah kami rezeki tilawah al quran siang dan malam.

Tilawah Al Quran disitu disebut rezeki. Ya, rezeki. Kenikmatan tilawah, kenikmatan menghafal, susah senang, lelah bangkit dalam melaksanakannya adalah kenikmatan yang tidak semua orang dapat merasakannya. Itu hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang Allah ingin ia mendekat pada-Nya. Bukan pada sembarang orang.

Maka yang bisa tilawah Al Quran pada siang hari, pada malam hari, bersyukurlah. Yang merasa ada yang kurang bila hari itu belum tilawah, belum berinteraksi dengan Al Quran, bersyukurlah. Bila kita termasuk salah satu diantara yang bisa merasakan kenikmatan itu, bersuyukurlah. Bersyukurlah, maka Allah akan tambahkan nikmat-Nya bagi hamba-Nya yang bersyukur."

Terkadang Allah menunda sesuatu karena Ia ingin memberikan kita sesuatu yang lebih baik :)
Saat saya menceritakan cerita ini ke seorang teman, ia berkata, "Masya Allah Ti, beruntung kamu bisa ikut acara itu. Walaupun waktumu ngerjain skripsi kepotong, walaupun belum jadi semprop, tapi kamu dapet kesempatan yang ndak semua orang dapet, termasuk aku."

Mungkin Allah sedang ingin saya mendekat dulu pada-Nya baru membolehkan saya untuk mengerjakan urusan yang lain. Mungkin selama ini saya terlalu disibukkan dengan urusan dunia hingga lupa, bahwa ada Ia yang pencemburu dan ingin hamba-Nya selalu mendekat pada-Nya, selalu mengingat-Nya, selalu menomorsatukannya. Allah selalu memliki cara yang begitu tidak terduga untuk mengingatkan kita untuk kembali pada-Nya.

Terima kasih Kak, telah menjadi jalan untuk saya kembali mengingat-Nya kali ini. Jazaakillaahu khairan katsiiran. Semoga Allah membalas kebaikan kakak dengan balasan yang jauuh lebih baik :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar