Rabu, 04 Juli 2018

Perjalanan Yogyakarta-Jakarta-Surabaya: Hikmah#2 Belajar dari Mas Galih

Hanya ingin bercerita tentang seorang adik. Namanya Mas Galih, kelas 4 SD. Adik sahabat saya, Rahma, di asrama. Adik yang justru memberikan keteladanan pada saya yang umurnya jauh berada di atasnya :)

Sore itu saya tiba di rumah sahabat saya. Bersilaturahmi sekaligus mampir sejenak untuk beristirahat guna melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Seorang anak laki-laki terlihat masih malu-malu melihat orang baru dalam rumahnya. Saat maghrib tiba, barulah ia berani menyapa.

"Mba, aku numpang ngaji disini ya," kata Mas Galih sambil membuka Al-Qur'an dan langsung duduk di pojokan menghadap tembok.

Mas Galih mulai membaca. Mungkin terkadang panjang-pendeknya masih ada yang salah. Atau juga pelafalannya masih kurang tepat. Tetapi bahkan, ya Allah, saya hingga SMA pun masih terbata-bata membaca Al Qur'an.

Saya teringat dulu, ketika SMA, ada suatu acara pesantren kilat. Masya Allah, teman-teman saya yang non-Rohis begitu lancar membacanya. Dan ketika tiba giliran saya, justru saya yang anak Rohis, yang mungkin notabene-nya 'terlihat' lebih baik di bidang agama, malah membacanya dengan terbata-bata. Malu, malu, maluu rasanya saat itu. Sejak saat itulah saya berusaha memperbaiki bacaan saya. Memantaskan dan memperbaiki diri. Dan perbaikan-perbaikan itu baru bisa terealisasikan saat berkuliah, terutama yaa saat di asrama itu. Ya Allah, saya sangat jauh di bawah Mas Galih yang bahkan sudah membaca Al-Quran di umur yang entah saat itu mungkin saya baru membaca jilid :')

Setelah membaca Al-Qur'an, Mas Galih mengajak saya mengobrol. Duh Dik, umur segitu saya masih malu-malu bahkan seringkali bersembunyi bila melihat orang baru. Perlahan Mas Galih mendekati bunga di dalam vas yang saya bawa dari pernikahan salah satu sahabat saya, Aisyah, hari itu.

"Ini bunga apa Mba?" Tanya Mas Galih sambil menunjuk bunga terbesar yang berwarna putih.
"Itu bunga krisan Mas Galih," terang saya.

Lalu Mas Galih mulai menunjuk bunga-bunga lainnya dan menanyakan namanya satu persatu. Saya pun menjelaskannya. Untuk bunga-bunga yang bahkan tidak kami ketahui namanya, kami mencarinya di internet. Mas Galih terlihat tertarik dengan bahasan itu. Menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru.
Ternyata begini ya rasanya mempunyai adik yang masih dalam umur 'ingin tahu segala hal'. Kadang kesulitan juga bila menjelaskan apa yang tidak saya ketahui juga namanya.

Mungkin ini yang dirasakan Bapak hingga saat ini. Putrinya ini terlalu sering bertanya. Dulu saya senang sekali bertanya nama-nama tanaman, nama-nama hewan pada Bapak. Tanaman dan hewan, 2 hal yang paling menarik perhatian saya. Jalan-jalan, mendengarkan cerita fabel, ke kebun binatang, adalah hal yang paling saya senangi.

Meningkat sedikit umur saya, pertanyaan berganti menjadi bagaimana dan mengapa tentang hal-hal yang terjadi di sekitar. Meningkat lagi, pertanyaan menjadi semakin rumit.

Tapi Bapak selalu punya jawaban untuk pertanyaan putrinya: menjelaskan bagaimana cara menghafal nomor KTP, menjelaskan bahwa dengan melihat nomor KTP kamu bisa melihat tanggal lahir seseorang (yang tentunya karena pada KTP perempuan pada tanggal lahir ditambahkan 40, maka saya tidak bisa menemukannya saat itu -__-. Misal: seseorang lahir pada 23-10-1995 > di KTP laki-laki akan tertulis 231095, sedangkan di KTP perempuan akan tertulis 631095).

Hingga pertanyaan meningkat kembali dan saya mulai bertanya mengenai agama: "Kan ada hadits yang mengatakan kalau solat subuh di masjid terus berdiam sampe syuruq lalu sholat 2 rakaat, maka ia dapat pahala haji dan umroh yang sempurna, sempurna, sempurna. Padahal perempuan lebih baik di rumah, jadi kita gabisa dapet pahala itu dong kalo di rumah? Cuma buat laki-laki dong? Kan haditsnya kalo di masjid? Padahal kan aku mau juga dapet pahala kaya gitu," atau pertanyaan, "Sebaik-baik puasa adalah puasa daud dan tidak ada yang lebih baik dari puasa itu. Jadi kalo udah puasa daud gaboleh puasa yang lain kah, Pak? Atau gimana?"
Dan entah kenapa Bapak selalu bisa menjawab, atau bila tidak bisa, akan berusaha mencarikan jawaban.

Ternyata menjadi orang tua tidak sederhana ya. Perlu banyak belajar. Apalagi anak-anak akan selalu punya pertanyaan-pertanyaan 'tidak terduga' :')

Setelah puas menanyakan nama-nama bunga, Mas Galih beranjak untuk belajar, minta didampingi Ibu dan Mba Ima-nya *Ima=nama panggilan Rahma di rumah. Saya menyimak di sampingnya.

Masya Allah, di situ saya sadar apa yang hilang selama ini dari diri saya selama belajar di perkuliahan :')

Semangat untuk benar-benar belajar.

Iya. Mas Galih begitu bersemangat mengerjakan soal-soal yang bahkan bukan PR yang diberikan.
Saat itu saya sadar, terakhir kali saya memiliki semangat seperti itu adalah saat SMA, untuk mata pelajaran Kimia. Soal-soal di buku sudah dikerjakan dan buku paket sudah dipelajari jauh sebelum materi dijelaskan. Di kuliahan? Belajar hanya saat akan ujian. Astaghfirullah :'

Esoknya, saya berpamitan. Kata Rahma, Mas Galih mudah dekat dengan teman-teman Rahma dan akan sedih bila temannya berpamitan. Benar saja, Mas Galih ndak rela kalau teman Rahma pulang.
"Mba Isti, Mba Ima, Ibu, Mas Galih kapan-kapan boleh kan ya main ke rumah Mba Isti?"
"Boleh Mas Galih, main aja yah kapan-kapan :)"
________________________________________________________________________

Nyaris setahun lalu sudah.
Hanya beberapa waktu bersama dan saya belajar banyak dari Mas Galih.
Tentang kecintaan pada Al-Qur'an yang harus ditanamkan sejak dini,
Tentang menghadapi seorang adik yang selalu ingin tahu itu dan ini,
Tentang semangat belajar tanpa henti.

Dan, saya merasakan, benarlah kata orang, seringkali, belajar itu bukan tentang "siapa", tetapi tentang "apa" :)

*Postingan nyaris setahun lalu yang baru diselesaikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar