Sabtu, 29 April 2017

SNMPTN dan FKG UGM: Sekilas Lika-liku Perjuangan Menjadi (Calon) Dokter Gigi

Hai :)
Hanya ingin berbagi sedikit kisah di bulan-bulan ini, dimana anak SMA tahun akhir bingung memilih jurusan yang akan diambil di perguruan tinggi. Sebuah kisah tentang seorang yang dulunya sama sekali tidak menyukai berbaur dengan orang banyak dan selalu lebih memilih untuk bekerja di belakang layar, tersesat di program studi (prodi) yang begitu menekankan bagaimana menghadapi orang banyak dan kiranya ke depan akan bekerja di depan layar, Prodi Pendidikan Dokter Gigi, FKG UGM. 

Perkenalkan, nama saya Kurnia Istiqomah, biasa dipanggil Isti, Kokom, Iskom, yaa whatever lah ya :)
Sekarang saya sedang menempuh pendidikan tahun akhir saya (Aamiin, semoga benar-benar tahun terakhir) di FKG UGM. Tepatnya, saya mahasiswa semester 8. Kesibukan? Yaa, seperti normalnya mahasiswa tingkat akhir, se-krip-si-an (Skripsi: (n) sesuatu yang menuntut kegigihan, kesabaran, dan ketekunan demi tercapainya gelar sarjana yang diimpikan setelah nyaris empat tahun berjuang).

Jadiii, mari kita rewind, kenapa saya bisa 'tersesat' di prodi ini.

Tentunya semua berasal dari seleksi masuk perguruan tinggi.
Tahun 2013, saya mendaftar perguruan tinggi melalui jalur SNMPTN. Ini adalah jalur masuk perguruan tinggi dengan seleksi nilai raport dan prestasi selama bersekolah di jenjang SMA/sederajat.
Kebetulan SMA saya adalah salah satu SMA yang cukup favorit di daerah saya, SMA N 1 Kebumen. Lulusannya pun banyak yang lolos perguruan tinggi negeri lewat jalur undangan di tahun sebelumnya. Jadi kami sang adik kelas sangat berterima kasih atas track record kakak-kakak kami yang begitu baik sehingga 'hoki' nya keterima di PTN kemungkinan akan menurun pada kami.

Saya kira SNMPTN ya sudah kan, tinggal pilih jurusan, input nilai, dan ya sudah, tunggu pengumuman. Sesederhana itu.
Tapi ternyata, 'tinggal pilih jurusan' yang saya bilang tadi adalah sesuatu yang tidak mudah. Bagi yang pernah dan sedang mengalami, pasti merasakannya juga.

Bagi saya yang tidak memiliki bidang penguasaan yang spesifik terhadap mata pelajaran tertentu, tentu hal ini menjadi membingungkan. Begitu banyak jurusan, dan terlalu dangkal pemahaman saya tentang apa yang nantinya dipelajari dalam jurusan tersebut. Pun ditambah dengan saya yang tidak terlalu menyukai hitungan murni (matematika) ataupun hafalan murni (biologi). Mau ke teknik malas bertemu hitung-hitungan. Mau ke kedokteran malas menghafal. Yaa begitulah. Mata pelajaran favorit saya saat SMA adalah Kimia, Fisika, dan Bahasa Inggris. Yang paling tidak saya sukai adalah Matematika.

Saya akhirnya menimbang-nimbang, jurusan apa yang ingin saya ambil. Sejujurnya, list jurusan yang ingin saya ambil begitu absurd, yang ada di pikiran saya adalah jurusan yang kiranya saat bekerja nanti tidak banyak berhubungan dengan orang seperti kedokteran dsb dan lebih banyak bertemu dengan hewan, tumbuhan, atau alam. Pokoknya entah kenapa saya malas bila yang berhubungan dengan orang banyak. Kalau bisa sekalian jadi peneliti di belakang layar atau diterjunkan di hutan belantara wkwk.

Berikut adalah list jurusan yang pernah masuk dalam pertimbangan saya:
- Astronomi ITB (Alasan: di SMA ikut Science club astronomi walaupun jadi anak biasa-biasa saja, tapi beneran dah, astronomi menarik dan asik. Walaupun itungan dan rumusnya njelimet minta ampun sih. Katanya kakak angkatan saat itu, di Singapura sedang akan membuka jurusan astronomi dan akan mengambil dosen dari Indonesia, jadi kalo bisa fastrack, kemungkinan bisa jadi dosen di Singapura) 
- SF ITB(Alasan: sepertinya akan banyak materi Kimia yang menyenangkan)
- FSRD ITB (Alasan: sangat suka seni rupa dan gambar sejak kecil)
- Kimia ITS (Alasan: suka kimia, banget! Mapel yang selalu senang saya pelajari walapun besoknya tidak ada ulangan. Apalagi kata kakak angkatan, program fastrack (S1 langsung S2 dalam 5 tahun) sedang sangat didukung di ITS. Lulusannya akan dijadikan dosen di Institut Teknologi yang baru akan dibangun di Kalimantan, alias ITK sekarang. Kurang apa coba. Kuliah double degree, lulus jadi dosen)
- Teknik Kimia ITS (Alasan: suka banget kimia, dan penasaran sama fisika walaupun susah. Sayangnya matematika jongkok wkwk, jadi menimbang ulang)
- Kedokteran Hewan IPB (Alasan: suka hewan, lucuu)
- Kedokteran Hewan UGM (Alasan: idem atas)
- Agroteknologi UNS (Alasan: berharap kerja outdoor, kebayangnya sih kerja di sawah/lapangan. Kayanya asik)
- Desain Interior UNS (Alasan: suka seni, suka gambar, dan kayanya seru deh nata-nata ruang gitu)
- Farmasi Bahan Alam UGM (Alasan: suka tumbuhan, yaa kali aja seru gitu besok neliti tanaman-tanaman obat di hutan-hutan Indonesia, hidup di hutan bareng hewan-hewan juga)

Sudah. Kemudian karena yang akan membiayai kuliah adalah Bapak dan Ummi (maap ya emang rada gimanaa gitu, tapi sekali-kali lah ya, Bapak ngga sama Ibu tapi sama Ummi wkwk), maka saya mengonsultasikan kebolehan untuk mengambil jurusan-jurusan tersebut dan meminta pertimbangan jurusan mana yang lebih baik diambil.

Tidak banyak saran dari Bapak. Bapak lebih menyarankan untuk mengambil jurusan yang saya minati saja karena Bapak merasakan sulitnya berjuang di jurusan yang tidak sesuai minat dan kemampuan. Saat itu Bapak menyarankan untuk mengambil Teknik Arsitektur, tapi hanya sebatas saran.

Sedangkan Ummi begitu banyak memberi pertimbangan.
"Yakin dek mau ambil astronomi? Di Indonesia kayanya ngga terlalu dibutuhkan deh, dek. Nanti kamu malah bingung mau kerja dimana." Lalu aku membantah dengan fastrack dan dosen Singapura. Tapi sepertinya alasan tidak diterima. Coret.
"Yakin mau ambil kimia? Itu ilmu murni loh dek, nanti kerjanya susah, kamu mau jadi dosen atau peneliti po?" Baiklah. Coret.
"Yakin mau ambil farmasi? Farmasis di Indonesia itu belum terlalu dihargai dek, capek banget juga kerjanya. Kalau mau buka apotek sendiri juga mahal modalnya." Coret.
"Yakin mau ambil kedokteran hewan? Kebanyakan temen Ummi yang di kedokteran hewan ngga ada yang jadi dokter hewan. Malah jadi penjual makanan ternak." Coret.
"Yakin mau ambil seni atau desain interior? Seni itu ngga menjanjikan dek. Dijadiin hobi saja jangan pekerjaan." Coret.
"Yakin mau ambil teknik kimia? Kalo teknik kimia nanti kerjanya di pabrik loh dek. Padahal perempuan kan nanti ngurusin rumah dan keluarga juga. Coba cari yang lebih pas buat perempuan." Coret.
"Yakin mau ambil agroteknologi? Nanti jangan-jangan ujung-ujungnya jadi petani?" Coret.

*nb: tolong segala pertimbangan di atas jangan dicontoh sebagai pertimbangan teman-teman sekalian dalam menentukan jurusan. Insya Allah setiap jurusan itu baik lagi dibutuhkan. Ini hanya perspektif keluarga saya belaka.

Maka, habis sudah pilihan jurusan yang saya ajukan.
"Jadi gimana mi, aku harus ambil jurusan apa? Aku dah ngajuin semua yang aku pengen tapi ngga ada yang dibolehin."
"Bukan gitu, itu tadi kan cuma pertimbangan Ummi sebagai yang sudah menjalani, pilihannya sih tetep di kamu. Kalo Ummi menyarankan sih jadi dokter gigi aja. Ummi udah menjalani dan ya jadi dokter gigi dan ibu itu enak. Ngga kaya dokter yang ada shift malem. Bisa ngurusin keluarga juga."

Saya cuma bisa terdiam. Saya masih terbayang Farmasi Bahan Alam UGM. Yakin kah mau ambil FKG padahal saya ketemu orang aja males?

Akhirnya saya memutuskan untuk menyerahkan semuanya kepada Allah. Istikhoroh. Pasrah mana yang kiranya terbaik untuk saya. Keputusan yang akan saya ambil nanti tidak hanya mempengaruhi pilihan saya saja, tapi juga pilihan teman-teman saya. Di sekolah, guru kami selalu menekankan agar setiap anak mengambil jurusan yang berbeda di univ yang berbeda agar kemungkinan diterimanya besar. Yang nilainya lebih rendah bergeser ke univ yang lain dengan jurusan yang sama. Saat itu, saya dijadikan patokan oleh beberapa teman saya. Kalau saya ambil FKG UGM di pilihan pertama, teman saya mengambil Farmasi UGM di pilihan pertamanya, yang lainnya bergeser ke Farmasi UI. Bila saya mengambil Farmasi UGM, maka sebaliknya. Dan itu merembet ke teman-teman lainnya juga. Maka saya harus segera memutuskan.

Setelah beberapa lama, saya akhirnya merasa mantap untuk mengambil FKG UGM sebagai pilihan pertama saya. SNMPTN saat itu membolehkan kita mengambil 4 jurusan di 2 univ yang berbeda, dengan salah satu univ berada di provinsi asal.
FKG UGM, Farmasi UGM, FKG Unsoed, Farmasi Unsoed. 
Bismillah, akhirnya saya memilih dengan urutan seperti di atas.
Setelah saya menentukan pilihan, teman-teman saya pun menentukan pilihan mereka.

Saat itu, saya tidak terlalu berharap banyak untuk diterima lewat jalur SNMPTN. Les SBMPTN masih saya jalani. Pun dengan tes-tes SBMPTN yang diadakan oleh kakak-kakak universitas. Saya selalu bersemangat mengikuti tes-tes tersebut. Kalaupun harus SBMPTN, saya akan memilih Farmasi UGM di pilihan pertama saya, begitu tekad saya saat itu.

Tapi ternyata, takdir berkata lain.
Sore itu, pengumuman SNMPTN. Saya bersama 2 teman seperjuangan saya di SMA, Bintang dan Arum, memutuskan untuk melihat hasilnya bersama di rumah saya. Entah kenapa yang saya harap saat itu, saya tidak diterima di pilihan pertama saya, tapi diterima di pilihan kedua saya.
Kami membuka satu persatu pengumuman SNMPTN tersebut.
Alhamdulillah, Arum diterima di Farmasi UI. Bintang diterima di Teknik Lingkungan ITS. Kami bersorak dan menangis bahagia.
Kini giliran saya membuka pengumuman. Saya berdoa semoga diberikan yang terbaik. Bila memang harus SBMPTN pun saya siap.

Saya diterima di FKG UGM.

Jujur, saat itu saya ingin menangis. Bukan menangis bahagia. Tapi menangis sedih.
Saya sadar, saya memasukkan FKG UGM sebagai pilihan pertama saya. Tapi saya masih belum siap untuk benar-benar menempuh jalan di FKG. Saya merasa dokter gigi bukan impian saya. Ini impian Ummi. Saya masih ingin memperjuangkan keinginan saya untuk masuk di Farmasi Bahan Alam UGM atau Kedokteran Hewan UGM. Saya sudah siap untuk SBMPTN atau UM. Saya hanya bisa menangis saat Bintang, Arum, dan orang tua saya memberi selamat.

Kalau kata orang, bersyukur loh kamu, diterima FKG UGM. Lewat jalur SNMPTN lagi.
Iya, saya paham, saya beruntung. Diterima di jurusan favorit tanpa harus menjalani tes tulis. Tapi di sisi lain, saya merasa ini bukan jalan saya. Saya punya mimpi yang masih ingin saya perjuangkan. Tapi apalah yang bisa saya lakukan. Sebelum pengumuman ini, saya sudah diumumkan diterima di AKA (Akademi Kimia Analisis)  Bogor. Tetapi akhirnya saya melepas AKA karena ada isu bila kakak angkatan diterima lewat jalur SNMPTN  tetapi tidak diambil, nanti adik angkatan yang ingin ke jurusan tersebut akan susah masuknya; dengan kata lain sekolah tersebut di blacklist.

Saya yang sejujurnya ingin mundur dan masih ingin berjuang lewat tes tulis berpikir kembali berkali-kali. Terlalu banyak sisi negatif yang didapatkan bila saya mundur. Teman-teman saya yang ingin ke FKG UGM tetapi nilainya di bawah saya sudah merelakan untuk tidak mengambil jurusan tersebut dan mengambil jurusan lainnya. Teman yang nilainya sepantaran sudah lebih memilih Farmasi UGM dan UI. Ummi sangat berharap saya bisa melanjutkannya menjadi dokter gigi. Dan adik kelas yang ingin ke FKG UGM mungkin akan lebih sulit untuk masuk bila saya mengundurkan diri.

Maka saya mengembalikan semuanya lagi kepada-Nya. Istikhoroh kembali.
Dan akhirnya saya memutuskan untuk menjalaninya. Di FKG UGM. Saya merasa saya tidak boleh egois. Ada banyak orang yang ingin masuk FKG tapi bisa jadi kursinya sudah terambil oleh saya. Ada harapan Ummi. Ada adik-adik yang mungkin sudah merencanakan untuk mengambil FKG di tahun berikutnya. Sekali lagi, saya berbicara pada diri saya bahwa saya tidak boleh egois.

Maka,
Bismillah,
Allah lebih tahu jalan mana yang terbaik untuk hamba-Nya :)
Saya menetapkan hati untuk menjalaninya.

Semester demi semester telah saya lalui. Menumbuhkan cinta pada sesuatu yang sama sekali tidak kamu cintai meman sulit. Semester 1 dan 2, saya masih bisa me-manage perasaan saya terhadap jurusan ini. Masih ada mata kuliah-mata kuliah yang saya sukai. Masih ada kimia dan fisika yang menjadi obat bagi saya untuk berpikir di luar menghafal. IP saya masih bisa dibilang baik untuk ukuran 'terpaksa' menjalani.

Semester 3, mulai memasuki materi kedokteran dan kedokteran gigi. Saya mulai kesulitan untuk menghafal dan memahami. Pun dengan semester 4. Rasanya sulit untuk menyamakan diri dengan teman-teman di sekitar saya. Saya bukan orang yang mudah menghafal. Untuk bisa menghafal, saya butuh untuk lebih dahulu memahami. Dan pemahaman pun hanya bisa saya dapat ketika saya sudah membacanya berkali-kali dan mendengarkan dosen di kelas. Sedangkan saya merasa teman-teman saya begitu cepat untuk menghafal dan memahami. IP saya turun drastis di semester-semester tersebut.

Pada pergantian semester 4 ke semester 5, saya merasa tidak kuat lagi menjalani dan ingin pindah saja. Saya utarakan hal tersebut ke orang tua. Orang tua pun memahami, saya tidak menyukai kuliah saya. Mereka tahu saya berat menjalani. Semua itu terlihat dari saya yang jarang terlihat ceria saat pulang. Akhirnya mereka menyetujui. Saya ingin pindah ke jurusan Arsitektur Lansekap saja, kata saya. Mengingat bila saya berpindah ke Farmasi atau Kedokteran Hewan sama saja akan hafalan, maka saya memilih jurusan itu. Saya jadi teringat Bapak yang sejak awal sudah menyarankan saya untuk masuk ke Teknik Arsitektur. Saya pun mencari info. Ternyata pendaftaran universitas sudah banyak yang tutup. Hanya tinggal beberapa universitas saja yang masih buka. Saat itu, saya berpikir ulang. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak jadi berpindah dan ingin mencoba menyukai FKG saja, setidaknya menyukai salah satu cabang ilmunya. Ada beberapa alasan kenapa saya tidak jadi berpindah. Yang pertama, saya sudah tua wkwk. Yang kedua, ini mimpi Ummi saya dan saya tidak ingin Ummi kecewa. Yang ketiga, saat itu saya merupakan penerima beasiswa asrama dan pembinaan PPSDMS (atau yang sekarang dikenal dengan beasiswa Rumah Kepemimpinan), dan saya sangat menyayangi keluarga saya di asrama tersebut. Saya tidak ingin berpisah dari mereka secepat itu sedangkan pembinaan yang harus kami jalani masih ada satu tahun lagi. Entah mengapa alasan ketiga inilah yang paling membuat saya mengurungkan niat saya untuk berpindah.

Semester 5, semester 6, saya jalani. Ternyata, tidak semudah itu untuk menjalani. IP saya masih seperti semester sebelumnya. Saat di asrama, IP menjadi salah satu hal yang dievaluasi. Dan catatan evaluasi bagi saya selalu tentang IP. Saya berusaha memperbaiki, saya berusaha belajar, tetapi hasilnya selalu saja dibawah target. Di akhir semester 6 menjelang semester 7, saya menjalani KKN. Di situlah titik balik dimana saya mengubah ketidaksukaan saya terhadap jurusan ini menjadi ke-suka-an. Ditempatkan di Pulau Sebatik, perbatasan Indonesia-Malaysia, dengan hanya 5 dokter gigi di satu pulau membuat saya tersadar, bahwa profesi ini masih dibutuhkan. Memang jumlah dokter gigi di Indonesia saat ini sudah banyak. Akan tetapi, jumlah tersebut terkonsentrasi di Jawa-Bali saja. Sedangkan di luar itu, apalagi di daerah 3T, masih banyak yang belum memiliki dokter gigi. Maka sejak saat itu, saya mencoba menyukai bidang yang saya geluti ini. Saya ingin menjadi satu dari sekian dokter gigi yang mau ditempatkan didaerah 3T. Tetapi saya pun sadar, untuk bisa menjadi dokter gigi di daerah yang penuh keterbatasan, saya harus menjadi dokter gigi serbabisa, baik untuk berpraktik maupun memberikan pendidikan dan penyuluhan kesehatan gigi. Karena bisa jadi di sana saya akan ditempatkan sendiri di daerah dengan segala keterbatasan tenaga kesehatan dan alat-alat kesehatannya.

Maka sepulang KKN, di semester 7 dan semester 8, saya menyimak baik-baik apa yang saya dengar di kelas, saya membaca lebih banyak buku-buku kedokteran gigi, dan saya memutuskan untuk memilih salah satu konsentrasi yang paling saya minati di kedokteran gigi untuk tetap menjaga semangat saya. Terlambat? Bagi saya tidak ada kata terlambat untuk berubah. Bagi saya tidak ada kata terlambat untuk mulai belajar.

Saya memilih untuk menekuni lebih dalam bidang Ilmu Kedokteran Gigi Preventif dan Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat. Saya yang tidak terlalu tertarik di bidang klinis memilih untuk menekuni bidang sosial. Skripsi saya pun saya ambil di bagian ini. Harapannya, ini adalah salah satu langkah nyata untuk saya mempersiapkan diri menjadi dokter gigi yang bisa lebih memasyarakat, memahami sistem kesehatan di Indonesia, dan bisa menjadi salah satu jalan bagi saya untuk membangun jaringan dan melakukan penelitian tentang IKGP-IKGM bersama dosen-dosen di bagian ini. Mimpi itu membuat saya bangkit dan bergerak kembali :)


Itu sedikit cerita tentang perjalanan hidup saya. Sedikit tentang mimpi saya.  Bagi saya, perjalanan tersebut tidak mudah. Ada banyak hal yang saya alami dalam perjalanannya. Kadang tawa, kadang duka, kadang biasa saja. Ada banyak pelajaran yang kemudian saya ambil untuk menjadi lebih baik ke depannya.
Jangan melulu menyesali yang telah lalu. Cobalah untuk melihat ke masa yang akan datang. Karena kita tidak hidup di masa lalu. Kita hidup di masa kini untuk menyongsong masa depan :)

"Setiap orang punya jalan ceritanya masing-masing. Adapun akhir ceritanya, Allah sudah menentukan. Ia sudah menuliskan.
Akan tetapi, seperti apa jalan ceritanya, akankah dilalui dengan bahagia, akankah dilalui dengan sedih, akankah berjuang dengan senyuman, akankah berjuang dengan muka yang masam, kamu sendiri yang menentukan."

Diselesaikan di Kebumen, 28 April 2017

3 komentar:

  1. Assalamualaikum ka, kalo boleh tanya rata rata nilai rapot kaka berapa waktu daftar snm? soalnya aku pengen bgt masuk fkg ugm lewat jalur snmptn hehehe

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum kak, pengen tau nilai rata - rata rapot kakak berapa ya? ??
    Punya IG nggak kak??

    BalasHapus
  3. Fkg ugm itu bener bener jurusan favorit ku sih kakk, jawabb yaa:)

    BalasHapus